BAB I
PENDAHULUAN
A.
Larat
Belakang
Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Al-Syaibani
lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir
pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban diwilayah
jazirah Arab.Bersama orang tuanya, Al-Syaibani pindah kekota Kuffah yang ketika
itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqih,
sastra, bahasa, dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin
Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Mughul. Pada periode ini
pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama
4 tahun, yakni sampai nama yang terakhir meninggal dunia. Seteah itu, ia
berguru kepada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu
Hanifah, sehingga keduanya tercatat sebagai penyebut mazhab Hanafi.[1]
Dalam menuntut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi
dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits.Ia
layaknya para ulama terdahulu, berkelana keberbagai tempat, seperti Madinah,
Makkah, Syirya, Basrah, dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar,
seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. ia juga pernah bertemu
dengan Al-Syafi’i ketika belajar al-Muwattah pada Malik bin Anas. Hal
tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya.Al-Syaibani menjadi
lebih banyak mengetahui berbagai hadits yang luput dari perhatian Abu Hanifah.
Dari keluasan pendidikannya ini ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl
al-ra’yi di Irak dengan ahl al-hadits di Madinah.[2]
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke
Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah.
Ditempat ini ia mempunyai peranan penting dalam majelis ulama dan kerap
didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam
mengembangkan mazhab Hanafi, apa lagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu
yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Berkat keluasan ilmunya
tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, khalifah Harun Al-Rasyid
mengangkatnya sebagai hakim di kotaRiqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya
berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih
berkosentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia
pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray dekat Teheran dalam usia 58 tahun.[3]
B.
Rumusan Masalah
1. Sebutkan karya-karya Al-Syaibani?
2. Bagaimana konsep pemikiran ekonomi
Al-Syaibani?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui karya-karya Al-Syaibani.
2. Untuk mengetahui konsep pemikiran
ekonomi Al-Syaibani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karya-Karya
Al-Syaibani
Dalam menuliskan pokok-pokok pemikiran fiqihnya, Al-Syaibani
menggunakan istishan sebagai metode ijtihadnya.Ia merupakan sosok ulama
yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan kedalam dua
golongan, yaitu:
- Zhahir
al-Riwayah,
yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah,
seperti al-Mabsut, al-Jami’
al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-siyar Shaghir,
dan al-Ziyadat. Kesemuanya
ini dihimpun Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Maruzi (w.
334 H/ 945 M) dalam satu kitab yang berjudul al-Kafi.
- Al-Nawadir,
yaitu
kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri seperti Amali Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat,
al-Makharij fi al-Hiyalm al-Radd ‘ala Ahl Madinah, al-Ziyadah, al-Atsar, dan
al-Kasb.[4]
B.
Pemikiran
Ekonomi Al-Syaibani
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Syaibani, para ekonom
Muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb sebuah kitab yang lahir sebagai
respon penulis terhadap sikap zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua
Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian ,mikroekonomi yang
berkisar pada teori kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman
perilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut termasuk kitab pertama di dunia
Islam yang membahas permasalahan ini.oleh karena itu tidak berlebihan bila Dr.
Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai salah seorang perintis ilmu ekonomi
Islam.[5]
1. Al-Kasb
(kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-Kasb sebagai mencari
perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas
demikian termasuk dalam aktivitas produksi.Dalam ekonomi Islam, tidak semua
aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi,
karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal haramnya suatu
barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas
menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat diebut sebagai aktivias
produksi. Produksi dilakukan karena barang atau jasa itu memepunayi utilitas
(nila-guna).Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna
jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Syaibani
kemslahatan hanya dapat dicapai dengan memlihara limaunsur pokok kehidupan
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[6]
Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep
ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunayi
nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya.Dalam pandangan Islam
aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum yakni
menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk.Berkenaan dengan hal
tersebut Syaibani mengaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang
pelaksanaan ibadah kepada Allah swt. Disamping itu Syaibani juga mneyatakan
bahwa bekrja merupakan ajaran para Rasul terdahulu dan kaum Muslimin
diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.[7]
2. Kekayaan
dan Kefakiran
Setelah membahas kasbfokus perhatian Syaibani tertuju
pada permasalahan kaya dan fakir.Menurutnya sekalipun banyak dalil yang
menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi.Ia menayatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari
apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebijakan, sehingga mencurahkan
perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks
ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah),
bukan kondisi papah dan meminta-minta (kafafah).Dengan demikian, pada
dasarnya Al-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk
diri sendiri maupun keluarganya. Disisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat
kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia
tidak menetang gaya hidup yang lebih cukup selama kelebihan tersebut hanya
dipergunakan untuk kebaikan.[8]
3. Klasifikasi
Usaha-Usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani usaha-usaha perekonomian terbagi atas
empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan
perindustrian.Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga yaitu
pertanian, perindustrian, dan jasa. Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha
pertanian dari pada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sangant menunjang dalam melaksanakan berbagai
kewajibannya.Dari segi hukum, Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi
dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha
perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya
atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan, dan jika tidak
seorangpun menjalankannya maka tanah roda perekonomian akan hancur beranktakan
yang berdampak pada semakin banyknya orang yang hidup dalam kesengsaraan.[9]
Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena
usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Bila tidak dilakukan
usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidakakan terpenuhi begitupun
dengan orang yang ditanggungnya sehimgga akan menimbulkan kebinasaan bagi
dirinya dan orang yang ditanggungnya.[10]
4. Kebutuhan-Kebutuhan
Ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan
anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali
dengan empat perkara yaitu, makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom
yang lain mengatakan bahwa keempat hal itu adalah tema ilmu ekonomi. Jika
keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk
neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.[11]
5. Spesialisasi
dan Distiribusi Pekerjaan
Al-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu
membutuhkan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai semua hal yang
dibutuhkan sepanjang hidupnya, dan kalaupun manusia berusaha keras usia akan
membatasi dirinya. Dalam hal ini kemaslahatan hidup manusia sangat tergantung
padanya. Oleh karena itu Allah SWT memberikan kemudahan pada setiap orang untuk
menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga manusia dapat bekerja
sama dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut Syaibani menandaskan bahwa
seorang yang fakir membutuhkan seorang yang kaya, sedang yang kaya membutuhkan
tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin
mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada Allah SWT. Lebih lanjut
Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan
ketaatan kepada Allah atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada
Allah, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai denganniatnya.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Karya-Karya Al-Syaibani:
·
Zhahir al-Riwayah, yaitu kitab yang ditulis
berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah, seperti al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’
al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-siyar Shaghir, dan al-Ziyadat. Kesemuanya ini dihimpun
Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Maruzi (w. 334 H/ 945 M) dalam
satu kitab yang berjudul al-Kafi.
·
Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan
pandangannya sendiri seperti Amali
Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyalm al-Radd ‘ala Ahl
Madinah, al-Ziyadah, al-Atsar, dan al-Kasb.
2. Pemikiran ekonomi Al-Syaibani:
Ø Al-Kasb
(Kerja)
Ø Kekayaan
dan kefakiran
Ø Klasifikasi
usaha-usaha perekonomian
Ø Kebutuhan-kebutuhan
ekonomi
Ø Spesialisasi
dan distribusi pekerjaan
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan,
kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Karim Adiwarman Azwar, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Bakri Asafri Jaya, Konsep
Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi, Jakarta, PT Raja Grafindo, Persada,
1996
Taqiyuddin, Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam,Surabaya, Risalah Gusti, 1996
[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, (Ed., 2,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 231.
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, (jil., 5, Cet.
Ke-1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1686.
[6] Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada,
1996), hal. 71.
[12] Taqiyuddin Al-Nabhani, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti,
1996), hal 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar