Perkembangan
organisasi gerakan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri
ini belum mencapai kemerdekaan secara fisik sampai pada masa reformasi sekarang
ini. Perkembangannya, bahkan, kian pesat dengan dilakukannya tajdid
(pembaharuan) di masing-masing gerakan Islam tersebut. Salah satu organisasi
gerakan Islam itu adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi
Islam yang besar di Indonesia.
Bahkan merupakan
gerakan kemanusiaan terbesar di dunia di luar gerakan kemanusiaan yang
dilaksanakan oleh gereja, sebagaimana disinyalir oleh seorang James L. Peacock
. Di sebahagian negara di dunia, Muhammadiyah memiliki kantor cabang
internasional (PCIM) seperti PCIM Kairo-Mesir, PCIM Republik Islam Iran, PCIM
Khartoum–Sudan, PCIM Belanda, PCIM Jerman, PCIM Inggris, PCIM Libya, PCIM Kuala
Lumpur, PCIM Perancis, PCIM Amerika Serikat, dan PCIM Jepang. PCIM-PCIM
tersebut didirikan dengan berdasarkan pada SK PP Muhammadiyah . Di tanah air,
Muhammadiyah tidak hanya berada di kota-kota besar, tapi telah merambah sampai
ke tingkat kecamatan di seluruh Indonesia, dari mulai tingkat pusat sampai ke
tingkat ranting.
Nama organisasi ini
diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal
sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Selain itu Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam memiliki cita-cita ideal yang dengan sungguh-sungguh
ingin diraih, yaitu mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan
cita-cita yang ingin diwujudkan itu, Muhammadiyah memiliki arah yang jelas
dalam gerakannya.
Dalam pembentukannya,
Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran,
diantaranya dalam QS. Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
“Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat tersebut,
menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat
dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi.
B. Rumusan Masalah
·
Apa
pengertian dari Muhammadiyah?
·
Siapa
pendiri Muhammadiyah?
·
Bagaimana
sejarah berdirinya Muhammadiyah?
·
Apa
maksud dan tujuan Muhammadiyah didirikan?
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud dalam
pembuatan makalah ini yaitu untuk memberikan penjelasan tentang pengertian dari
Muhammadiyah, siapa pendiri Muhammadiyah, bagaimana sejarah berdirinya
Muhammadiyah, serta maksud dan tujuan Muhammadiyah didirikan. Tujuan dari makalah
ini yaitu agar pembaca mengetahui asal usul dari gerakan Muhammadiyah.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini yaitu
memberi tahu kepada pembaca agar mengenal Muhammadiyah lebih jauh. Dan mengerti
tentang gerakan Muhammadiyah itu sendiri.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara
(Etimologis) Muhamadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhammad”, yaitu nama
nabi dan rasul Allah yang terkhir. Kemudian mendapatkan “ya” nisbiyah, yang
artinya menjeniskan. Jadi, Muhamadiyah berarti “umat Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam” atau “pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”,
yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir.
Menurut
istilah, dapat diberi batasan pengertian bahwa Muhammadiyah adalah organisasi
islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlam dengan maksud agar umat islam di
Indonesia daam melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan ditintunkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW.
Secara
garis besar Muhammadiyah adalah salah satu orgnisasi Islam pembaharu di
Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan
pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Jamaludin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sebagainya. Pengaruh gerakan
pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad Abduh melalui tafsirnya,
al-Manar, suntingan dari Rasyid Ridha serta majalah al-Urwatul Wustqa.
B. Pendiri Muhammadiyah
Organisasi
Islam Muhammadiyah yang kini lebih dikenal dengan sebutan Persyarikatan
Muhammadiyah, didirikan oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenal dengan nama
K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H / 18
Nopember 1912. Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai
seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu
dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik,
beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist.
Pada
masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan (1912-1923), daerah pengaruh Muhammadiyah
masih terbatas di karesidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan.
Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke
Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang
relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera
Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah
tersebar keseluruh Indonesia.
KH
A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1923 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke
11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1932. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Di
samping itu, Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan
dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, yakani Nyi Walidah
Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
Berikut
adalah daftar Pimpinan Muhammadiyah Indonesia sejak berdirinya sampai sekarang,
yang dapat penulis susun sebagai berikut:
·
KH
Ahmad Dahlan ( 1912 - 1923 )
·
KH
Ibrahim ( 1923 – 1932 )
·
KH
Hisyam ( 1932 – 1936 )
·
KH
Mas Mansur ( 1936 – 1942 )
·
Ki
Bagus Hadikusuma ( 1942 – 1953 )
·
Buya
AR Sutan Mansur ( 1953 – 1959 )
·
H.M.
Yunus Anis ( 1959 – 1962 )
·
KH.
Ahmad Badawi ( 1962 – 1968 )
·
KH.
Faqih Usman ( 1968 – 1971 )
·
KH.
AR Fachruddin ( 1971 – 1990 )
·
KHA.
Azhar Basyir, M.A. ( 1990 – 1995 )
·
Prof.
Dr. H. M. Amien Rais ( 1995 – 2000 )
·
Prof.
Dr. H.A. Syafii Ma'arif ( 2000 – 2005 )
·
Prof.
Dr. H. M. Din Syamsuddin ( 2005 – sekarang )
Loading...
C. Sejarah Lahirnya Muhammadiyah
Bulan
Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam
modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan
pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di
dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan
berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota
santri Kauman Yogyakarta.
Kata
”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan
jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad,
dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah
memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia
sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.”
Kelahiran
dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan
menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan
(Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai
menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai
Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah
seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih
ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi,
Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi
konservatif.
Embrio
kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan
gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan
dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai
Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan
saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai
mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang
ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai
Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar
terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli
sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan
oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad
Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian
menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan
setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk
mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana
tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan
untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban
(2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai
Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara
informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan
pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang
didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan
”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan
di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat
di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan
papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan
ilmu-ilmu umum.
Maka
pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330
Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20
Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18
November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah.
Pada
AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai
diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959,
yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam
pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam.
Kelahiran
Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang
ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang
membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan,
sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas,
memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun
kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek
tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan
kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni
Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai
langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung
Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai
berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam
dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah
dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat,
serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk
kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun
langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan
”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan
pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu
mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok
generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah
kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam ”modern”
bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya
dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang
di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara
umum.
Langkah
ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan
generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam
saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Pembaruan
Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan
pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun,
merupakan contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi
pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong
Kesengsaraan umat (PKU)
Kyai
Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi
Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak
diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di
sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara
Al-Quran sebagai Kitab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai
Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama
secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”,
sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan bahwa diskusi-diskusi
tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan
pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga
ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide
dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam
rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran
Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang
membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh
Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353).
Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan
mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas
dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan
ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa
majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai
Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t:
69) telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala
seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam
sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang
menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah
pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar
mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai
gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam
sistem kehidupan yang nyata.
Kyai
Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan
cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang
sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta
dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya
tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki
praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam
beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam
haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan
mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam
memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan
mendidik untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga
ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan):
”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya?
apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini
perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65).
Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan
pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam
ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas
pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran
Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai
Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi
kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi
tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi
pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan
Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat,
yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam
masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya
lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam,
akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi
yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan
Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi
tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang
sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam
konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam
kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan
zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan
rakyat (Junus Salam, 1968: 33).
Karena
itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena
alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di
Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin
Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan
Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti
Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
Kendati
menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan
yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun
penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan
gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang
didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya sungguh merupakan
suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini tentu tidak dapat dijadikan
standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam gerakan
pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai
Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan
dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap
mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di
Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari
Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an,
bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara,
pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya
di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar
dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil
kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan
dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus
cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh
negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah
ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang
murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah
piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah
sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya,
mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara
terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran
Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam
yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan
keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam
keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori
kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam
pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan
melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik
dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah
Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia
dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena
baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan
Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan,
tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui
organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai
oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti
lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin
informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara
cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat,
instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format
gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga
bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang
selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm
al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna
manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi,
kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga
memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran
Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk
mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang
munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat”
Muhammadiyah.
Muhammadiyah
dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan
Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran
iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak
hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara
parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis
untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi”
(mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan
dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit
yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme
Islam di Indonesia.
Faktor Internal dan
Eksternal Lahirnya Muhammadiyah
a. Faktor obyektif yang bersifat Internal
·
Kelemahan
praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk,
1. Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek
Islam tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat terhadap
khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan
ijtihad dan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang agama. Paham dan praktek agama
seperti ini mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan
perkembangan baru yang banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan
dalam melakukan adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk-bentuk sikap
penolakan terhadap perubahan dan kemudian berapologi terhadap kebenaran
tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup selama ini.
2. Sinkretisme
Pertemuan Islam
dengan budaya lokal disamping telah memperkaya khasanah budaya Islam, pada sisi
lainnya telah melahirkan format-format sinkretik, percampuradukkan antara
sistem kepercayaan asli masyarakat-budaya setempat. Sebagai proses budaya,
percampuradukkan budaya ini tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang
menimbulkan persoalan ketika percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski
secara formal mengaku sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli
mereka yang animistis tidak berubah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus,
pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya
menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara
bersama-sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
·
Kelemahan
Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan tradisional
Islam, Pesantren, merupakan sistem pendidikan Islam yang khas Indonesia.
Transformasi nilai-nilai keIslaman ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara
institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat kelemahan
dalam sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan
kader-kader umat Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman.
Salah satu kelemahan itu terletak pada materi pelajaran yang hanya mengajarkan
pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan
ilmu falak. Pesanteren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti
ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru
sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam
rangka menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan lembaga
pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar
belakang dan sebab kenapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk
melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu
agama dan ilmu duniawi.
b. Faktor Objektif yang Bersifat Eksternal
·
Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat
eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah
kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk
mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen.
Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di
Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan
kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara
Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah
KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
·
Kolonialisme
Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa
pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini,
baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek
politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.
Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya
melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural,
terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur
pendidikan.
·
Gerakan
Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia
pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul
Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya.
Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani
yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH. Ahmad Dahlan.
Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat
mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan
ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.
Dengan melihat seluruh latar
belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan telah
melakukan lompatan besar dalam beritijtihad. Prinsip-prinsip dasar perjuangan
Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada al-Quran dan Sunnah, namun implementasi
dalam operasionalisasinya yang memeiliki karakter dinamis dan terus
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak memungut dari
berbagai pengalaman sejarah secara terbuka (misalnya sistem kerja organisasi
yang banyak diilhami dari yayasan-yayasan Katolik dan Protestan yang banyak
muncul di Yogyakarta waktu itu.
D. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Rumusan
maksud dan tujuan Muhammadiyah sejak berdiri hingga sekarang ini telah
mengalami beberapa kali perubahan redaksional, perubahan susunan bahasa dan
istilah. Tetapi, dari segi isi, maksud dan tujuan Muhammadiyah tidak berubah dari
semula. Pada waktu pertama berdirinya Muhamadiyah memiliki maksud dan tujuan
sebagai berikut:
v Rumusan pertama Menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi-putra, di dalam residensi
Yogyakarta. Dan Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
v Rumusan kedua terjadi setelah muhammadiyah meluas ke
berbagai daerah di luar Yogyakarta. Memperhatikan jumlah cabang yang ada di
luar Yogyakarta maka maksud dan tujuan muhammadiyah harus direvisi sesuaii
dengan keadaan riil yang dialaminya. Adapun isinya adalah memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda, serta
memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan Agama Islam kepada
sekutu-sekutunya.
v Rumusan ketiga rumusan ketiga ini terjadi ketika masa
pendudukan Jepang di Indonesia. Pemerintahan fasis ini mengharuskan terjadinya
perubahan redaksional yang sesuai dengan yang dikehendakinya. Maka rumusanya
adalah sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersamaseluruh
Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh
Allah maka perkumpulan ini:
a. Hendaknya menyiarkan agama Islam, serta melatihkan
hidup yang selaras dengan tuntunannya.
b. Hendak melakukan pekerjaan perbaikan umum.
c. Hendak memajukan pengetahuan dan keepandaian serta
budi pekerti yang baik kepada anggoya-anggotanya.
v Rumusan keempat
terjadi setelah Muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta. Adapaun
rumusanya adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
v Rumusan kelima ini diubah pada Muktamar Muhammadiyah
ke 34 di Yogyakarta. Perubahan ini hanya pada redaksionalnya saja dari kata
dapat mewujudkan menjadi terwujudnya. Sihingga rumusan resminya adalah,
Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
v Rumusan keenam terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke
41 di Surakarta. Pada tahun itu Muhammadiyah harus merubah maksud dan tujuan
azaznya, dikarenakan kehadiran Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang
kewajiban setiap ormas, baik agama maupun non agama untuk mencantumkan asas
pancasila. Adapun maksud dan tujuan hasil Muktamar ke 41 itu adalah menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan
makmur yang diridhai Allah SWT.
v Rumusan ketujuh Muhammadiyah adalah gerakan Islam,
Dakwah Amar ma’ruf Nahi Munkar, berasaskan Islam yang bersumber pada al Qur’an
dan As-Sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhammadiyah adalah salah satu
orgnisasi Islam pembaharu di Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang dibangun oleh
K.H. Ahmad Dahlan sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang
dari gerakan pembaharuan Islam. maksud dan tujuan Muhamadiyah, yaitu Menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan
makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah yang
berjudul “Asal usul gerakan Muhammadiyah”, kami dari kelompok 1 menyadari bahwa
masih banyak kesalahan sehingga belum sempurnanya makalah kami. Maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen pembimbing dan
teman-teman khususnya kelas D semester III program studi teknik sipil.
DAFTAR
PUSTAKA
Pendidikan
Islam. 2013. Pembahasan Lengkap Mengenai
MUHAMMADIYAH (Pengertian, Sejarah, Organisasi, dll). http://www.masuk-islam.com/pembahasan-lengkap-mengenai-muhammadiyah-pengertian-sejarah-organisasi-dll.html. (Diakses 19 September 2014 19.00 WIB).
Julianto Toni. 2012. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah di Indonesia. http://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/. (Diakses 20 September 2014
19.45 WIB).
http://www.muhammadiyah.or.id/content-178-det-sejarah-singkat.html
http://suara-muhammadiyah.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar