Jumat, 21 Desember 2018

MAKALAH AKAD

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Akad
            Kata akad berasal dari bahasa arab Al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan :
“ pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan”.
            Maksud dari kata “sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahawa selurh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang mengatakan kabul).[1]
            Dengan demikian, setiap akad mencakup empat tahap : pertama, perjanjian (al-‘ahdu); kedua, persetujuan dua pihak atau lebih (al-ittifaq); ketiga, perikatan (al-‘aqdu); keempat, kerelaan antara kedua belah pihak (al-taradhi).[2]
            Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan akad ialah kesepakatan antara seseorang dengan orang lain atau antara beberapa orang dengan beberapa orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Akad terjadi antara dua belah pihak atau lebih dengan sukarela dan dapat menimbulkan kewajiban terhadap masing-masing pihak secara timbal balik.
B.     Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Akad
1.      Rukun-Rukun Akad
Rukun-rukun akad sebagai berikut :
a.       Aqid, adalah orang yang berakad;
b.      Ma’qud ‘alaih, yaitu benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai.
c.       Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari si penjual kepada pembeli dengan diberi ganti.
d.      Shighat al-‘aqdi, ialah ijab kabul.
2.      Syarat-Syarat Akad
Syarat-syarat terjadinya akad yaitu :
1)      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad bagi orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur), dan boros.
2)      Objek akad dapat menerima hukumnya.
3)      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4)      Tidak boleh melakukan akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah (saling merasakan).
5)      Akad dapat member faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah (kepercayaan).
6)      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi Kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum Kabul maka batallah ijabnya.
7)      Ijab dan Kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut batal.
C.    Macam-Macam Akad
            Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi jika dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi dua, yaitu :
1.      Akad Shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Akad yang shahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu :
a.       Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b.      Akad mawaquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil ini.
2.      Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Lalu, ulama Hanafiyah membagi akad ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.
Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada
Larangan langsung dari syara’. Sedangkan akad fasid merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.
D.    Berakhirnya Akad
            Para ulama fiqh mengatakan bahwa suatu akad dapat dikatakan berakhir apabila :
1.      Berakhir masa berlaku akad itu , apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.      Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika :
a.       Jual beli itu fasad
b.      Berlakunya khiyar syarat, aib atau rukyat.
c.       Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
d.      Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
4.      Salah satu pihak berakad meninggal dunia.
E.     Hikmah Akad
            Diadakannya akad dalam muamalah antarsesama manusia tentu mempunyai hikmah, diantaranya :
1.       Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki  sesuatu.
2.      Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3.      Akad merupakan “paying hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.
KESIMPULAN
            Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan :
1.       Akad merupakan pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang  menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
2.      Rukun-rukun akad yaitu :
a.       ‘aqid, yaitu orang yang berakad;
b.      Ma’qud ‘alaih, yaitu benda-benda yang diakadkan;
c.       Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
d.      Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul.
3.      Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi :
a.       Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) dan karena boros.
b.      Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c.       Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
d.      Tidak boleh melakukan akad yang dilarang oleh syara’, seperti mulasamah.
e.       Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidak sah apabila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah.
f.       Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.
g.      Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga apabila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
4.      Macam-macam akad
a.       Akad shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad.
b.      Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
5.      Berakhirnya akad :
a.       Berakhirnya akad, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
b.      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
c.       Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika :
·         Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsure-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
·         Berlakunya khiyar syarat, aib atau rukyat.
·         Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
·         Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
d.      Salah satu pihak berakad meninggal dunia.
6.      Hikmah akad
·         Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
·         Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
·         Merupakan “paying hukum” dalam kepemilikan sesuatu.
PENUTUP
            Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami yakin dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan kita manfaat pada kita semua, amin.
DAFTAR PUSTAKA
            Ahmad, Aiyub. Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdana dan Hukum Islam. Jakarta : Kiswah, 2004.
            Ghazali, Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta : Kencana, 2010.


[1]. Abdul Rahman Ghazali, dkk,fiqh muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, hlm. 50-51.
[2]. Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam, (Jakarta: Kiswah, 2004), cet. Ke-1, hlm.30.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar