BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam agama Islam untuk mengatur segala ibadah, baik
ibadah Maqdoh atauGhoiru Maqdoh, para ulama merujuk kepada suatu bidang ilmu
yang kita sebut dengan Ilmu Fiqh.Didalam Ilmu Fiqh banyak diatur tata
cara dan segala aturan tentang Muamalah, termasuk hutang piutang, yang hukum-hukum
tersebut merujuk juga kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada
pula yang dibutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak
terlepas dari yang namanya hutang Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah
tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula
yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari
orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang
dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena
utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga
menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Hutang Piutang itu?
2.
Apakah Hukumnya?
3.
Apakah Rukun dan Syaratnya?
4.
Apakah hutang boleh di bebankan kepada orang lain?
C. Tujuan
1.
Untuk memenuhi tugas perkuliahan dan
bahan diskusi.
2.
Untuk mengetahui Pengertian dan hukum dari hutang piutang.
3.
Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang
berkaitan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam
meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh
secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh
Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah
memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam
dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama.
Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa
depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan
toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunnah bila dalam keadaan
normal.
B. Dasar Hukum Al-Qardh
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah.Sedangkan
menurut Arruyani, sebagaimana dikutip Taqiy Addin bahwa ‘Ariyah hukumnya wajib. Memberikan hutang hukumnya sunnah, bahkan
bisa menjadi wajib. Misalnya, menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat
membutuhkannya. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah suatu yang amat besar
faedahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam bermasyarakat
biasanya memerlukan pertolongan orang lain. Adapun landasan hukumnya dari Al-Qur’an ialah;
وتعا ونوا على البر
والتقوى ولاتعاونوا على الاثم والعدوان( المئده: )
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al Maidah:2)
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
(QS. Al-Baqarah: 245)
انَّ اللهَ يَأ
مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّو اْلاَمَانَاتِ إلى إَهْلِهَا ( النساء: )
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya”. (Annisa:58)
Sebagaimana halnya bidang–bidang lainselain dari Al-Qur’an,landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadist,dalam landasan ini Al-Qardh dinyatakan sebagai berikut;
أَدِّ الأَمَنَةَ إلى
مَنِ ائْتَمَنَكَ ولَاتَخُنْ مَنْ خَانَكَ ( رواه ابوداود)
Artinya: “Sampaikanlah amanah orang yang memberikan amanah kepadamu janganlah
khiyanah meskipun dia khiyanah kepadamu”.
العَارِيَةُ مُؤَذَاةٌ
( رواه ابوداود)
Artinya: “Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”.
ليس عَلَى
الىمُسْتَعِرِ غَيْرِ الىمُغِلِّ ضُمَانٌ ولاالىمُسْتَودِعِ غِيْرِ الىمُغِلِّ
ضَمَانٌ (أخرجه دارقطني)
Artinya: “Pinjaman yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan
orang yang menerima titipan yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti
kerugian”.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ
اللنَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَ هَااَدَّى اللهُ عنه وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ
إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ(رواه البخاري)
Artinya: “Siapa yang meminjam harta manusia dengan berkehendak ingin mengembalikan
maka Allah akan membayarnya dan barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”.
Mempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah
menolongnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
melalui Ibnu Mas’ud: “Seorang muslim yang
mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya
satu kali.”[1]
Diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi SAW pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki.
Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu
Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada
beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah!
Yang kudapatkan hanyalah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau
bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik
adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (HR.
Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, bab istiqradh Al-Ibil (no. 2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man
Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
Namun bagi orang yang berhutang, haruslah segera
melunasinya jika ia telah mampu membayarnya. Karena jika menunda-nunda pembayaran
hutang padahal ia telah mampu membayarnya maka sama saja ia telah berbuat
zalim. Sebagaimana hadis Nabi;
مُطِلُّ الغَنِيِّ
ظُلْمٌ (رواه البخارى ومسلم )
Artinya: “Orang
kaya yang memperlambat (melalaikan) membayar kewajibannya (utang) adalah zalim (berbuat aniaya)”.
C. Rukun dan Syarat Al-Qardh
Menurut Hanafiah, rukunal-Qardh adalah satuyaitu Ijab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi
cukup menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum
ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah, rukun dari al-Qardh adalah
sebagi berikut;
1. Kalimat atau Lafazh “Saya
utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “Saya mengaku berutang
benda tersebut kepada kamu”, syarat bendanya ialah sama
dengan syarat benda dalam jual-beli.[2]
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan dan Musta’ir yaitu
orang yang menerima utang, syarat dari Mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya,sedangkan syarat-syarat dari Mu’ir an Musta’ir adalah;
a)
Baligh, maka batal Ariyah yang dilakukan anak kecil.
b)
Berakal,maka batal Ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau
gila.
c)
Orang tersebut tidak diMahjur (dibawah curatelle),maka tidak sah Ariyah
yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti
pemboros.
3. Benda yang di utangkan diisyaratkan yaitu;
a)
Materi
yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan,maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak
dapat digunakan,seperti meminjam karung yang telah hancur sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyimpan padi.
b)
Pemanfaatan itu dibolehkan,maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti
meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam
sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada yang meminjami. Setiap hutang wajib dibayarkan, sehingga berdosalah
orang yang tidak mau membayarkan utang bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya dan dosa, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW.
مُطِلُّ الغَنِيِّ
ظُلْمٌ (رواه البخارى ومسلم(
Artinya: “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
Dari Abu Hurairah. RA bahwa Nabi SAW bersabda: "Ruh orang mati itu tergantung dengan
hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya."Riwayat Ahmad dan
Tirmidzi.Hadits hasan menurut Tirmidzi.
Dalam hadis lain dinyatakan bahwa; Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari
ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Orang mampu yang
menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksanya."Riwayat
Abu Dawud dan Nasa'i.Hadits mu'allaq menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu
Hibban.[3]
Dari hadits di atas telah dijlaskan bahwa Rasulullah
SAW tidak menyukai penangguhan pembayaran hutang orang kaya atau mampu untuk
melunasi hutangnya, orang seperti itu menurut Rasulullah termasuk orang yang
zhalim bahkan lebih tegasnya Rasulullah mengatakan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i orang mampu yang menangguhkan pembayaran
hutang dihalalkan kehormatannya dan siksaannya.
Adapun jika melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman
itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang
semata dan tidak atas dasar perjanjian sebelumnya. Hal ini merupakan nilai
kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulallah bersabda;
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ
أَحْسَنَكُمْ قَضَاءً (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Maka sesungguhnya orang yang terbaik
diantara kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
Diceritakan dalam suatu kisah
Rasul pernah meminjam atau berutang hewan,kemudian beliau membayar hewan itu
dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari yang beliau pinjam. Lalu beliau
bersabda;
خِيَاُركُمْ
أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (رواه احمد)
Artinya: “Orang
yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan
yang lebih baik.
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang
berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu
tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah bersabda;[4]
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةٍ فهو وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا (أخرجه بيهقى)
Artinya: “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat,maka itu adalah salah satu cara
dari sekian cara riba”.
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh
meminjam benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum
mengizinkannyajika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan
barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman
berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang
lainkemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada
salah seorang diantara keduanya.Dalam keadaan seperti ini,lebih baik pemilik
barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika
barang itu rusak.
F. Tanggung
Jawab Peminjam
Bila peminjam telah meminjam barang-barang
pinjamankemudian barang tersebut rusak,ia berkewajiban menjaminnyabaik karena
pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.Demikian menurut Ibnu
Abbas,Aisyah,Abu Hurairah,Syafi’i dan Ishak dalam Hadist yang diriwaytkan oleh
Samurah,Rasulallah bersabda;
على اليَدِ ما
أَخَدَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
Artinya: “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang dia terima,sehingga ia
mengembalikannya”
G. Pengertian Hiwalah
(pemindahan hutang)
Menurut bahasa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah al-Intiqol
dan at-Tahwil artinya memindahkan. Maka
menurut Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
menurut bahasa ialah:
النَقْلُ مِنْ مَحَلِّ
اِلَى مَحَلِّ
Artinya: Pemindahan
dari satu tempat ke tempat yang lain”
Sedangkan pengertian Hiwalah menurut istilah, para
ulama berbeda-beda dalam mendefinikannya, antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Hanafiah yang dimaksud
Hiwalah ialah:
نَقْلُ الىمُطَالَبَةٍ
مِنْ ذِمَّةٍ الىمَدْيُونِ الى ذِمَّةِ الىمُلْتَزَمْ
Artinya: “Memindahkan tagihan dari
tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
b) Al-Jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:
نَقْلُ الدَيْنِ مِنْ
ذِمَّةِ الى ذِمَّةٍ
Artinya: “Perpindahan utang dari
tanggung jawab seseorang menjadi tanggungjawab orang lain”.
c)
Syihab Addiin Al-Qalyubi berpendapat yang
dimaksud dengan Hiwalah ialah:
عَقْدُ يَقْتَضِى
اِنْتِقَالَ دَيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ الى ذِمَّةٍ
Artinya: “Aqad yang menetapkan
pemindahan beban hutang dari seseorang kepada orang lain”.
d) Muhammad Syatha Ad-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah”
عَقْدٌ يَقْضِي
تَحْوِيْلَ دَيْنِ ذِمَّةِ الى ذِمَّةٍ
Artinya: “Aqad yang menetapkan pemindahan
utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”
H. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiah, rukun Hiwalah hanya satuyaitu Ijab
dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima
hiwalah. Dan syarat-syaratnya ialah:
1)
Orang yang memindahkan utang (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal
hiwalah yang dilakukan Muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2)
Orang yang menerima hiwalah (rah Addayn) adalah orang yang berakal,maka
batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3)
Orang dihiwalahkan (mahal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan
juga dia meridhoinya.
4)
Adanya utang Muhil kepada Muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, hiwalah itu ada empat
yakni sebagai berikut:
1)
Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan
atau orang yang memindahkan utang.
2)
Muhtal,
yaitu orang yang dihiwalahkan yakni orang yang mempunyai utang kepada muhil. Muhalalaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
3)
Shighat hiwalah, yaitu ijab dari Muhil dengan kata-katanya”Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau
kepada sipulan”. Dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya “Aku terima hiwalah engkau.”.
Sementara itu syarat-syarat hiwalah menurut Sayid Sabiq adalah sebagai
berikut:
1) Relanya pihak Mihil dan Muhal
tanpa Muhal alaih, bagi Muhal alaih rela maupun
tidak rela, tidak mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan
bahwa Muhal tidak diisyaratkan rela,yang harus rela adalah Muhil sebagaimana
sabda Nabi ;
إذا
أُحِيْلَ أَحَدُ كُمْ على مَلِئٍ فَلْيَتِّعْ
Artinya: “Dan jika seseorang diantara kamu di hiwalahkan kepada orang yang kaya, maka
terimalah”
2)
Samanya kedua hakbaik jenis maupaun kadarnya, penyelesaiannya, tempowaktu, kualitas
dan kuantitasnya.
3)
Setabilnya Muhal alaih, maka penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu
membayar utang adalah bata hak tersebut diketahui secara jelas.
I. Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan
sendirinya tanggung jawab muhil gugur.
Andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau
meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini
adalah pendapat Ulama Jumahur.[5]
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal
ternyata muhal alaih orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu apapun untuk
membayar maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang
yang menghiwalahkan utang kepada orang lain kemudian muhal alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.[6]
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam
keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang
mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Utang piutang adalah aqad untuk memberikan sesuatu
benda yang ada harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang
memerlukan dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan
jumlah yang sama. Hukum utang
piutang adalah mubah (boleh). Adapun rukun
Utang Piutang: Lafaz (kalimat mengutangi),
yang berpiutang dan yang berhutang, barang yang dihutangkan
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam utang
piutang tentang nilai sopan santun yang terkait didalamnya, sebagai berikut;
1.
Sesuai
dengan QS; Al-Baqarah: 282,utang piutang supaya
dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi
laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang wanita. Pada masa ini tulian tersebut dibuat
diatas kertas bersegel atau bermatrei.
2.
Pinjaman hendaknya dilakukan atas
dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai dalam hati akan
membayarnya/mengembalikan
3.
Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berutang,bilapeminjam tidak mampu mengembalikan,maka yang berpiutang
hendaknyamembebaskannya.
4.
Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh
mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Hutang piutang dapat
memberikan banyak manfaat / syafa’at kepada kedua belah pihak. Hutang piutang
merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat
dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang
piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah
serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak. Bagi pihak yang berutang bila sudah mampu untuk
mengembalikan, hendaknya mempercepat pembayarannya karena lalai dalam
pembayaran hutang berarti berbuat zalim bahkan lebih tegasnya Rasulullah
mengatakan orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan
kehormatannya dan siksaannya, seperti yang dinyatakan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.H.Hendi Suhendi,M.Si, Fiqih Muamalah, Jakarta; Raja Grapindo Persada, 2005.
H.Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, Bandung; Sinar
Baru Algensindo, 2005, cet. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar