Jumat, 21 Desember 2018

MAKALAH HUTANG PIUTANG

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Didalam agama Islam untuk mengatur segala ibadah, baik ibadah Maqdoh atauGhoiru Maqdoh, para ulama merujuk kepada suatu bidang ilmu yang kita sebut dengan Ilmu Fiqh.Didalam Ilmu Fiqh banyak diatur tata cara dan segala aturan tentang Muamalah, termasuk hutang piutang, yang hukum-hukum tersebut merujuk juga kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. 
B.       Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian Hutang Piutang itu?
2.        Apakah Hukumnya?
3.        Apakah Rukun dan Syaratnya?
4.        Apakah hutang boleh di bebankan kepada orang lain?
 C. Tujuan
1.        Untuk memenuhi tugas perkuliahan  dan bahan diskusi.
2.        Untuk mengetahui Pengertian dan hukum dari  hutang piutang.
3.        Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Definisi Hutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunnah bila dalam keadaan normal.
B.   Dasar Hukum Al-Qardh
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah.Sedangkan menurut Arruyani, sebagaimana dikutip Taqiy Addin bahwa ‘Ariyah hukumnya wajib. Memberikan hutang hukumnya sunnah, bahkan bisa menjadi wajib. Misalnya, menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah suatu yang amat besar faedahnya terhadap masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam bermasyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain. Adapun landasan hukumnya dari Al-Qur’an ialah;
وتعا ونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الاثم والعدوان( المئده: )
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al Maidah:2)
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
انَّ اللهَ يَأ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّو اْلاَمَانَاتِ إلى إَهْلِهَا ( النساء:   )
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. (Annisa:58)
Sebagaimana halnya bidang–bidang lainselain dari Al-Qur’an,landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadist,dalam landasan ini Al-Qardh dinyatakan sebagai berikut; 
أَدِّ الأَمَنَةَ إلى مَنِ ائْتَمَنَكَ ولَاتَخُنْ مَنْ خَانَكَ ( رواه ابوداود)
Artinya: “Sampaikanlah amanah orang yang memberikan amanah kepadamu janganlah khiyanah meskipun dia khiyanah kepadamu”.
العَارِيَةُ مُؤَذَاةٌ ( رواه ابوداود)
Artinya: “Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”.
ليس عَلَى الىمُسْتَعِرِ غَيْرِ الىمُغِلِّ ضُمَانٌ ولاالىمُسْتَودِعِ غِيْرِ الىمُغِلِّ ضَمَانٌ (أخرجه دارقطني)
Artinya: “Pinjaman yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian”.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ اللنَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَ هَااَدَّى اللهُ عنه وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ(رواه البخاري)
Artinya: “Siapa yang meminjam harta manusia dengan berkehendak ingin mengembalikan maka Allah akan membayarnya dan barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”.
Mempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah menolongnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Ibnu Mas’ud: “Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali.”[1]
Diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi SAW pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanyalah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, bab istiqradh Al-Ibil (no. 2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
Namun bagi orang yang berhutang, haruslah segera melunasinya jika ia telah mampu membayarnya. Karena jika menunda-nunda pembayaran hutang padahal ia telah mampu membayarnya maka sama saja ia telah berbuat zalim. Sebagaimana hadis Nabi;  
مُطِلُّ الغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخارى ومسلم )
Artinya: “Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) membayar kewajibannya (utang)  adalah zalim (berbuat aniaya)”.
  C.  Rukun dan Syarat Al-Qardh
Menurut Hanafiah, rukunal-Qardh adalah satuyaitu  Ijab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah, rukun dari al-Qardh adalah sebagi berikut;
1.      Kalimat atau Lafazh “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “Saya mengaku berutang benda tersebut kepada kamu”, syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda dalam jual-beli.[2]
2.      Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan dan Musta’ir yaitu orang yang menerima utang, syarat dari Mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,sedangkan syarat-syarat dari Mu’ir an Musta’ir adalah;
a)        Baligh, maka batal Ariyah yang dilakukan anak kecil.
b)        Berakal,maka batal Ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau gila.
c)        Orang tersebut tidak diMahjur (dibawah curatelle),maka tidak sah Ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3.      Benda yang di utangkan  diisyaratkan yaitu;
a)        Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan,maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan,seperti meminjam karung yang telah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
b)        Pemanfaatan itu dibolehkan,maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam benda-benda najis. 
D.  Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki hutang kepada yang meminjami. Setiap hutang wajib dibayarkan, sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayarkan utang bahkan melalaikan pembayaran utang  juga termasuk aniaya dan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
مُطِلُّ الغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخارى ومسلم(
Artinya: “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
Dari Abu Hurairah. RA bahwa Nabi SAW bersabda: "Ruh orang mati itu tergantung dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya."Riwayat Ahmad dan Tirmidzi.Hadits hasan menurut Tirmidzi.
Dalam hadis lain dinyatakan bahwa; Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksanya."Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i.Hadits mu'allaq menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.[3]
Dari hadits di atas telah dijlaskan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai penangguhan pembayaran hutang orang kaya atau mampu untuk melunasi hutangnya, orang seperti itu menurut Rasulullah termasuk orang yang zhalim bahkan lebih tegasnya Rasulullah mengatakan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksaannya.
Adapun jika melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata dan tidak atas dasar perjanjian sebelumnya. Hal ini merupakan nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulallah bersabda; 
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ قَضَاءً (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Maka sesungguhnya orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
Diceritakan dalam suatu kisah Rasul pernah meminjam atau berutang hewan,kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari yang beliau pinjam. Lalu beliau bersabda;
خِيَاُركُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً (رواه احمد)
Artinya: “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah bersabda;[4]
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةٍ فهو وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا (أخرجه بيهقى)
Artinya: “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat,maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”. 
 E.  Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjam benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum mengizinkannyajika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan  benda pinjaman tersebut kepada orang lainkemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya.Dalam keadaan seperti ini,lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak. 
F. Tanggung Jawab Peminjam          
Bila peminjam telah meminjam barang-barang pinjamankemudian barang tersebut rusak,ia berkewajiban menjaminnyabaik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.Demikian menurut Ibnu Abbas,Aisyah,Abu Hurairah,Syafi’i dan Ishak dalam Hadist yang diriwaytkan oleh Samurah,Rasulallah bersabda;
على اليَدِ ما أَخَدَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ 
Artinya: “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang dia terima,sehingga ia mengembalikannya”
G. Pengertian Hiwalah (pemindahan hutang)
Menurut bahasa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah al-Intiqol dan at-Tahwil artinya memindahkan. Maka menurut Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:
النَقْلُ مِنْ مَحَلِّ اِلَى مَحَلِّ
Artinya: Pemindahan dari satu tempat  ke tempat yang lain”
Sedangkan pengertian Hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinikannya, antara lain sebagai berikut:
a)      Menurut Hanafiah yang dimaksud Hiwalah ialah:
نَقْلُ الىمُطَالَبَةٍ مِنْ ذِمَّةٍ الىمَدْيُونِ الى ذِمَّةِ الىمُلْتَزَمْ
Artinya: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang  punya tanggung jawab kewajiban pula.”
b)      Al-Jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:   
نَقْلُ الدَيْنِ مِنْ ذِمَّةِ الى ذِمَّةٍ
Artinya: “Perpindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggungjawab orang lain”.
c)      Syihab Addiin Al-Qalyubi berpendapat yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:
عَقْدُ يَقْتَضِى اِنْتِقَالَ دَيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ الى ذِمَّةٍ
Artinya: “Aqad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada orang lain”.
d)     Muhammad Syatha Ad-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah”
عَقْدٌ يَقْضِي تَحْوِيْلَ دَيْنِ ذِمَّةِ الى ذِمَّةٍ
Artinya: “Aqad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”
H. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiah, rukun Hiwalah hanya satuyaitu Ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Dan syarat-syaratnya ialah:
1)        Orang yang memindahkan utang (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan Muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2)        Orang yang menerima hiwalah (rah Addayn) adalah orang yang berakal,maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3)        Orang dihiwalahkan (mahal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan juga dia meridhoinya.
4)        Adanya utang Muhil kepada Muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah, hiwalah itu ada empat yakni sebagai berikut:
1)        Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2)        Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan yakni orang yang mempunyai utang kepada muhil. Muhalalaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
3)        Shighat hiwalah, yaitu ijab dari Muhil dengan kata-katanya”Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada sipulan”. Dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya “Aku terima hiwalah engkau.”.
Sementara itu syarat-syarat hiwalah menurut Sayid Sabiq adalah sebagai berikut:
1)      Relanya pihak Mihil dan Muhal tanpa Muhal alaih, bagi Muhal alaih rela maupun tidak rela, tidak mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa Muhal tidak diisyaratkan rela,yang harus rela adalah Muhil sebagaimana sabda Nabi ;
إذا أُحِيْلَ أَحَدُ كُمْ على مَلِئٍ فَلْيَتِّعْ
Artinya: “Dan jika seseorang diantara kamu di hiwalahkan kepada orang yang kaya, maka terimalah”
2)        Samanya kedua hakbaik jenis maupaun kadarnyapenyelesaiannya, tempowaktu, kualitas dan kuantitasnya.
3)        Setabilnya Muhal alaih, maka penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu membayar utang adalah bata hak tersebut diketahui secara jelas.
I.  Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat Ulama Jumahur.[5]
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu apapun untuk membayar maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.[6]
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya. 
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Utang piutang adalah aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang sama. Hukum utang piutang adalah mubah (boleh). Adapun rukun Utang Piutang: Lafaz (kalimat mengutangi), yang berpiutang dan yang berhutang, barang yang dihutangkan
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam utang piutang tentang nilai sopan santun yang terkait didalamnya, sebagai berikut;
1.        Sesuai dengan QS; Al-Baqarah: 282,utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang wanita. Pada masa ini tulian tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermatrei.
2.        Pinjaman hendaknya dilakukan  atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai dalam hati akan membayarnya/mengembalikan
3.        Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang,bilapeminjam tidak mampu mengembalikan,maka yang berpiutang hendaknyamembebaskannya.
4.        Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafa’at kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak. Bagi pihak yang berutang bila sudah mampu untuk mengembalikan, hendaknya mempercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran hutang berarti berbuat zalim bahkan lebih tegasnya Rasulullah mengatakan orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksaannya, seperti yang dinyatakan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.H.Hendi Suhendi,M.Si,  Fiqih Muamalah, Jakarta; Raja Grapindo Persada, 2005.
H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005, cet. 38.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Buluqhul Maram Min Adillatil Ahkaam, Tasikmalaya; Pustaka Al-Hidayah, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar