Rabu, 19 Desember 2018

FILSAFAT EKONOMI ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad saw. dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah saw. mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad abad yang lampau. Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.      
Dilihat dari waktu dimana para pemikir-pemikir ekonomi islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikir, yaitu : para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut pemikir ekonomi islam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 yang disebut sebagai pemikir ekonomi islam kontemporer. Adapun sedikit pembahasan disini penulis mencoba menapak tilasi salah seorang pemikir ekonomi islam klasik, yaitu Abu Ubaid dan Yahya bin Umar yang hidup pada masa (150-224 H)-(213-289). Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan. Untuk lebih jelasnya akan di bahas dalam makalah ini.


B.   Rumusan Masalah
1.      Siapa Abu Ubaid dan Yahya bin Umar itu?
2.      Bagaimana pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid dan Yahya bin Umar?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
2.      Untuk mengetahui konsep/pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid dan Yahya bin umar
D.   Manfaat Penulisan
           
                Agar semua pembaca umat Islam khususnya mahasiswa dapat  lebih memahami Pemikiran Ekonomi Islam  khususnya  mengenai pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid dan Yahya bin Umar .













BAB II
PEMBAHASAN

A.   PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID
1.      Riwayat Hidup
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin miskin bin Zaid Al-Azaidi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota harrah ,khurasan sebelah barat laut af-ganistan ayahnya keturunan byzantium yang menjadi maula suku azad . Setelah memperoleh ilmu yg memadai di kota kelahiranya , pada usia 20 tahun , Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rashit, mengangkat Abu Ubaid sebagai  qadi (hakim) di tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di bagdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.1
2.      Latar Belakang Kehidupan Dan Corak Pemikiran
Abu Ubaid merupakan ahli hadis dan fikih terkemuka di jaman hidupnya. Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Dalam hal ini fokus perhatian abu ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada tehnik efisiensi pengelolaannya akan permasalahan politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan teknokrat yang berstandar  pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatan yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan diakhirat.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan perekonomian alquran dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan instansinya. Dengan kata lain umpan balik dari sosial politik ekonomi islami, yang berasal dari ajaran alquran dan hadis, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid. Berkat pengetahuan dan wawasanya yang begitu luas dalam berbagai ilmu, beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fukaha yang independen. Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal. Sebaliknya, Abu Ubaid sering sekali mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya yang juga guru Al-Syafi’i. Disamping itu, ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat mereka ditolaknya.
3.      Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a.       Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak dengan kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah menitik beratkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenang dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kepentingan kaum muslimin. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat komuditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Disamping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan, demi kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan pada para penakluk atau memberikan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat.
Disisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalah gunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain perbendaharaan negara harus digunakan untuk  kepentingan publuk. Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidak mampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa jika seorang penduduk non-Muslim mengajukan permohonan bebas utang dan dibenarkan oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non-Muslim tersebut yang serta dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai. Pandangan Abu Ubaid yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh khalifah Umar ataupun pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi namun demikian baginya, keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui sesuatu ijtihad.
b.      Dokotumi Badui (masyarakat tradisional atau desa) ke Urban (masyarakat kota)
Pembahsan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai’. Abu Ubaid menegaskan bahwa perbedaan dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan :
1.  Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagai kewajuiban adminitratif dari semua kaum Muslimin;
2.  Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka;
3.  Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Alquran dan sunnah serta penyebaran keunggulanya;
4.  Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapanhudud;
5.  Memberikan contoh universalisme islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya, disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan adminitrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik tersebut diatas hanya diberikan oleh Allah Swt. Kepada kaum urban (perkotaan). Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan dan provesi dari negara. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’ hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang (ja’ihah) dan kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
c.       Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kewajiban pemerintah seperti iqta’(enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan utuk diolah dan dibebasakan dari pembayaran pajak.
d.      Pertimbangan Kebutuhan
Abu ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa bagian harta zakat harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap suatu bagian. Di sisi lain, biasanya abu ubaid menganggap bahwa seorang yang memiliki 200 dirham adalah jumlah minimum yang terkena wajib zakat. oleh kerena itu, pendekatan yang dilakukan abu ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu :
1.   Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
2.  Kalanagan menengah yang tidak terkena wajib pajak,tetapi juga tidak terkena wajib pajak;
3.  Kalangan penerima zakat

e.       Fungsi Uang
pada prinsipnya, Abu ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran dan media pertukaran.


4.      Karya-Karya Abu Ubaid
Hasil karyanya ada sekitar dua puluh baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih, syair dan lain-lain. yang terbesar dan terkenal adalah kitab al-amwal dalam bidang fikih. Kitab Al-Amwal dari abu ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.2 Dalam bukunya tersebut abu ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengumukakan pendapatnya sendiri. Didalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban Negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan Negara lainnya. Buku ini juga kaya dengan paparan sejarah ekonomi Negara islam pada masa dua abad sebelumnya, selain juga merupakan compendium yang autentik tentang kehidupan ekonomi Negara islam pada masa Rasulullah saw.3
Pada sebuah compendium tersebut Abu Ubaid mengarang mengenai keuangan publik yang dapat dibandingkan dengan kitab al-kharaj-nya abu yusuf. Kitab al-amwalnya sangat kaya secara historis dan juga berisi materi-materi hukum islam yang luas. karyanya banyak dukutip oleh penulis-penulis islam, dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.
Sedikitnya ada empat jenis produk hukum islam yang ada selama ini, yaitu kitab-kitab fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama. Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitab fikih merupakan hasil nalar fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, Kemudian dikembangkan secara berkelanjutan dalam waktu rentan yang panjang. Kitab-kitab fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum islam yang pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi aspek hukum islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap perubahan karena revisi terhadap sebagiannya dianggap menganggu keutuhan isi keseluruhannya.

B.     PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR
1.      Riwayat Hidup
Yahya Bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kardova, Spanyol.4
Pada masa hidupnya, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, manjabat Qasi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahin bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan Qodhi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).
2.      Karya-karya Yahya bin Umar
Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Diantar berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Muntakhabah fi Ikhtishar al-Mustakhrijah fi Al-Fiqh Al-Maliki dan kitab Ahkam Al-suq.
Kitab Ahkam Al-suq yang berasal dari benua afrika pada abad ketiga hijriyah ini merupakan kitab pertama di dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya. Pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan, telah memiliki dau keistimewaan yaitu:
1.  Keberadaan istitusi pasar mendapat perhatian kusus dan pengaturang yang mewadai dari para penguasa.
2.  Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan-permasalahan pasar.
Tentang kitab Ahkam Al-suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu:
1)      Hukum syara’ tentang perbedaan satuan timbangan dan dagangan perdangan dalam satu wilayah.
2)      Tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi. Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.
3.      Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktifitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketaqwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Disamping Al-Qur’an setiap muslim harus berpegang teguh pada sunah dan seluruh perintah Nabi Muhammad SAW. dalam melakukan setiap ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan keberkahan akan selalu menyertai orang-orang yang bertaqwa, sesuai dengan firman Allah SWT:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
Artinya : “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’Raf : 96)
Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian yahya bin umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. antara lain : Dari Anas bin Malik, ia berkata: “telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah SAW. Mereka (para sahabat) berkata: wahai Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab “sesungguhnya Allah lah yang menguasai (harga), yang member rizki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun (boleh) memintaku untuk melakukan kezoliman dalam persoalanjiwa harta”. (Riwayat Abu Daud). Jika dicermati kontek teks hadis tersebut, tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain dalam hal demikian, pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu: para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan dan merusak mekanisme pasar; dan para pedagang melakukan praktik banting harga yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.
4.      Wawasan Modern Teori Yahya Bin Umar
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam al-Suq, adalah mengenai hukum-hukum pasar. Namun pada dasarnya konsep Yahya bin Umar lebih benyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al-ighraq. Dalam ekonomi kontenporer, kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seek-ing dan dumping. Selanjutnya lebih jauh ia mengembangkan pemikirannya antara lain:
a.       Islam secara tegas melarang ihtikar
Islam secara tegas melarang ihtikar, yakni mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini Rasulullah saw menyatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan dosa besar. Abu Dzar al-Ghifari menyatakan bahwa hukum ihtikar tetap haram meskipun zakat barang-barang yang menjadi objek ihtikar tersebut telah ditunaikan.                                           Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi umat manusia. Ihtikar tidak hanya merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain serta menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia.                                     Dari definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah aktifitas ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar memenuhi setidaknya dua syarat yaitu: objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat; dan tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan diatas keuntungan normal.
b.      Siyasah al-Ighraq (Dumping policy)
Berbanding terbalik dengan ihtikar, siyasah al-ighraq bertujuan meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari pada harga yang berlaku di pasaran. Perilaku ini secara tegas dilarang dalam Islam karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas. Dalam prakteknya, dumping baru dipandang sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan oleh sebuah perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu: industri tersebut bersifat tidak sempurna, sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price maker, bukan sebagai price taker; dan pasar harus tersegmentasi sehingga penduduk di dalam negeri tidak dapat dengan mudah membeli barang-barang yang akan diekspor.
c.       Dumping Resiprokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi harga akan dapat meningkatkan perdagangan luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh, akan Nampak jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Contohnya sebuah pabrik semen di Negara A melakukan ekspor ke Negara B, dan sebaliknya, pabrik semen di Negara B melakukan ekspor ke Negara A. Walaupun terlihat ekstrim dan pada kenyataannya jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan bahwa dumping resiprokal tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan merupakan perbuatan yang sia-sia.
d.      Penetapan Harga
Penetapan harga merupakan tema sentral dalam kitab al-Ahkam al-Suq. Imam Yahya bin Umar berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang berbeda. Tampaknya ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi. Sedangkan pembagian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
e.       Mekanisme Harga
Kebebasan tersebut juga berarti bahwa harga dalam pandangan Yahya bin Umar, ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Namun, ia menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi pasar ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Hukuman ini berarti melarang pelaku melakukan aktifitas ekonominya di pasar, bukan merupakan hukum maliyyah.
Menurut Dr. Rifa’at al-Aududi, pernyataan Imam Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah, akan tetapi pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jika dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan masa hidup Rasulullah saw. Wawasan pengetahuannya serta isi, format dan metodologi kitab al-amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” diantara para penulis tentang keuangan publik.
            Karya Abu Ubaid yang terbesar dan terkenal adalah kitab al-amwal dalam bidang fikih. KitabAl-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Sedangkan karya Yahya bin Umar fokus perhatiannya tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga).
B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami berharap para pembaca lebih mengetahui dan memahami bagaimana ekonomi islam yang benar dan setelah kita mengetahui alangkah baiknya mengimplementasikan ekonomi islam itu dalam kehidupan sehari-hari.  Dengan kondisi saat ini semakin banyak praktek-praktek seperti halnya dumping dan juga ihtikar. kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita.  Aamin.                                                           Akhirnya, terima kasih atas segala partisipasi semua pihak, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya.






DAFTAR PUSTAKA


Azwar Karim, Adiwarman. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.
Chamid, Nur. 2010.  Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
P3EI. 2009. Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.



1 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 264

2 Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.177
3 P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal.108

4 [4] Ibid, hal. 197


Tidak ada komentar:

Posting Komentar