BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah
diawali sejak Muhammad saw. dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah saw.
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh
penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata
ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai
sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam
tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta
filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad abad yang lampau.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran
munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu
diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram
atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi
dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para
pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya
sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus
ekonomi Islam sesungguhnya.
Dilihat dari waktu dimana para
pemikir-pemikir ekonomi islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikir,
yaitu : para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut pemikir ekonomi
islam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 yang disebut
sebagai pemikir ekonomi islam kontemporer. Adapun sedikit pembahasan disini
penulis mencoba menapak tilasi salah seorang pemikir ekonomi islam klasik,
yaitu Abu Ubaid dan Yahya bin Umar yang hidup pada masa (150-224 H)-(213-289). Kegiatan
ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan
pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun
dimulai dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman
mengalami perkembangan. Untuk lebih jelasnya akan di bahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa Abu Ubaid dan Yahya bin Umar itu?
2. Bagaimana pandangan ekonomi menurut Abu
Ubaid dan Yahya bin Umar?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Abu Ubaid dan
Yahya bin Umar.
2. Untuk
mengetahui konsep/pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid dan Yahya bin umar
D.
Manfaat Penulisan
Agar semua pembaca
umat Islam khususnya mahasiswa dapat
lebih memahami Pemikiran Ekonomi Islam khususnya
mengenai pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid
dan Yahya bin Umar .
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID
1. Riwayat
Hidup
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin
Sallam bin miskin bin Zaid Al-Azaidi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di
kota harrah ,khurasan sebelah barat laut af-ganistan ayahnya keturunan
byzantium yang menjadi maula suku azad . Setelah memperoleh ilmu yg memadai di
kota kelahiranya , pada usia 20 tahun , Abu Ubaid pergi berkelana untuk
menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu
yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir,
hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur
di masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rashit, mengangkat Abu Ubaid
sebagai qadi (hakim) di tarsus hingga
tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di bagdad selama
10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di makkah sampai
wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.1
2. Latar Belakang Kehidupan Dan Corak
Pemikiran
Abu Ubaid merupakan ahli hadis dan fikih
terkemuka di jaman hidupnya. Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak
menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulangannya. Dalam hal ini fokus perhatian abu ubaid tampaknya lebih
tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu
pemerintahan dari pada tehnik efisiensi pengelolaannya akan permasalahan
politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis,
tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan
teknokrat yang berstandar pada kemampuan
teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang prinsip keadilan dan masyarakat
beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas
islami yang berakar dari pendekatan yang bersifat holistik dan teologis
terhadap kehidupan manusia didunia dan diakhirat.
Berdasarkan
hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim
terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang
menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan perekonomian alquran
dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan instansinya.
Dengan kata lain umpan balik dari sosial politik ekonomi islami, yang berasal
dari ajaran alquran dan hadis, mendapatkan tempat yang eksklusif serta
diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid. Berkat pengetahuan
dan wawasanya yang begitu luas dalam berbagai ilmu, beberapa ulama Syafi’iyah
dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, walaupun
fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fukaha yang independen.
Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris
Al-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal. Sebaliknya, Abu Ubaid sering sekali
mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya yang juga guru
Al-Syafi’i. Disamping itu, ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat
mereka ditolaknya.
3. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika
isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu
Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid
pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan
yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak dengan kepentingan
publik.
Tulisan-tulisan
Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah menitik beratkan pada
berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu
kebijakan atau wewenang dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan
dengan ajaran islam dan kepentingan kaum muslimin. Berdasarkan hal ini, Abu
Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun
langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat komuditas harus diberikan kepada
pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Disamping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan, demi
kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan pada para penakluk
atau memberikan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat.
Disisi
lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalah
gunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan
kata lain perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publuk. Abu Ubaid juga menyatakan
bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan bahkan dapat diturunkan
apabila terjadi ketidak mampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa jika
seorang penduduk non-Muslim mengajukan permohonan bebas utang dan dibenarkan
oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non-Muslim tersebut yang serta
dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai. Pandangan Abu Ubaid yang
tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh khalifah Umar ataupun
pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan
penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi namun demikian
baginya, keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut
diputuskan melalui sesuatu ijtihad.
b. Dokotumi Badui (masyarakat tradisional
atau desa) ke Urban (masyarakat kota)
Pembahsan
mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi
pendapatan fai’. Abu Ubaid menegaskan bahwa perbedaan dengan kaum badui, kaum
urban atau perkotaan :
1.
Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagai kewajuiban
adminitratif dari semua kaum Muslimin;
2.
Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan
harta mereka;
3.
Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Alquran dan
sunnah serta penyebaran keunggulanya;
4.
Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran
dan penerapanhudud;
5.
Memberikan contoh universalisme islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya,
disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan
adminitrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik
tersebut diatas hanya diberikan oleh Allah Swt. Kepada kaum urban (perkotaan).
Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan dan provesi dari
negara. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’ hanya pada
saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau
panjang (ja’ihah) dan kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum
badui dengan memasukan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
c. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan
Perbaikan Pertanian
Abu
Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal
kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid
mengemukakan bahwa kewajiban pemerintah seperti iqta’(enfeoffment) tanah gurun
dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang
disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. oleh karena
itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan utuk diolah dan dibebasakan dari
pembayaran pajak.
d. Pertimbangan Kebutuhan
Abu
ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa bagian harta zakat harus
dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung
menentukan suatu batas tertinggi terhadap suatu bagian. Di sisi lain, biasanya
abu ubaid menganggap bahwa seorang yang memiliki 200 dirham adalah jumlah
minimum yang terkena wajib zakat. oleh kerena itu, pendekatan yang dilakukan
abu ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait
dengan status zakat, yaitu :
1. Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
2.
Kalanagan menengah yang tidak terkena wajib pajak,tetapi juga tidak
terkena wajib pajak;
3.
Kalangan penerima zakat
e. Fungsi Uang
pada
prinsipnya, Abu ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar
nilai pertukaran dan media pertukaran.
4. Karya-Karya Abu Ubaid
Hasil
karyanya ada sekitar dua puluh baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih,
syair dan lain-lain. yang terbesar dan terkenal adalah kitab al-amwal dalam
bidang fikih. Kitab Al-Amwal dari abu ubaid merupakan suatu karya yang lengkap
tentang keuangan negara dalam Islam.2
Dalam bukunya tersebut abu ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain
tetapi juga mengumukakan pendapatnya sendiri. Didalamnya dibahas secara
mendalam tentang hak dan kewajiban Negara, pengumpulan dan penyaluran zakat,
khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan Negara lainnya. Buku ini
juga kaya dengan paparan sejarah ekonomi Negara islam pada masa dua abad
sebelumnya, selain juga merupakan compendium yang autentik tentang kehidupan
ekonomi Negara islam pada masa Rasulullah saw.3
Pada
sebuah compendium tersebut Abu Ubaid mengarang mengenai keuangan publik yang
dapat dibandingkan dengan kitab al-kharaj-nya abu yusuf. Kitab al-amwalnya
sangat kaya secara historis dan juga berisi materi-materi hukum islam yang
luas. karyanya banyak dukutip oleh penulis-penulis islam, dan telah
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.
Sedikitnya
ada empat jenis produk hukum islam yang ada selama ini, yaitu kitab-kitab
fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundangan di
negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama. Masing-masing produk pemikiran
hukum itu mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitab fikih merupakan hasil nalar
fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, Kemudian dikembangkan secara
berkelanjutan dalam waktu rentan yang panjang. Kitab-kitab fikih sebagai jenis
produk pemikiran hukum islam yang pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi
aspek hukum islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap perubahan
karena revisi terhadap sebagiannya dianggap menganggu keutuhan isi
keseluruhannya.
B. PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR
1. Riwayat Hidup
Yahya
Bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama
lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi ini lahir
pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kardova, Spanyol.4
Pada
masa hidupnya, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan
fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam
pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah
ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik
dengan cara memenjarakan maupun membunuh, manjabat Qasi di negeri itu. Setelah
Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahin bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan
jabatan Qodhi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap
tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-sabt hingga akhir hayatnya. Yahya
bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).
2. Karya-karya Yahya bin Umar
Semasa
hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan
karya tulis hingga mencapai 40 juz. Diantar berbagai karyanya yang terkenal
adalah kitab Al-Muntakhabah fi Ikhtishar al-Mustakhrijah fi Al-Fiqh Al-Maliki
dan kitab Ahkam Al-suq.
Kitab
Ahkam Al-suq yang berasal dari benua afrika pada abad ketiga hijriyah ini
merupakan kitab pertama di dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai
hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan
fiqih pada umumnya. Pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan, telah memiliki dau
keistimewaan yaitu:
1.
Keberadaan istitusi pasar mendapat perhatian kusus dan pengaturang yang
mewadai dari para penguasa.
2.
Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani
berbagai permasalahan-permasalahan pasar.
Tentang
kitab Ahkam Al-suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini
dilatar belakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu:
1)
Hukum syara’ tentang perbedaan satuan timbangan dan dagangan perdangan
dalam satu wilayah.
2)
Tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan
liberalisasi. Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para
konsumen.
3. Pemikiran Ekonomi
Menurut
Yahya bin Umar, aktifitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ketaqwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Disamping Al-Qur’an setiap muslim
harus berpegang teguh pada sunah dan seluruh perintah Nabi Muhammad SAW. dalam
melakukan setiap ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan keberkahan akan selalu
menyertai orang-orang yang bertaqwa, sesuai dengan firman Allah SWT:
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
Artinya
: “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”. (QS. Al-A’Raf : 96)
Seperti
yang telah disinggung, fokus perhatian yahya bin umar tertuju pada hukum-hukum
pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga).
Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan
harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad
SAW. antara lain : Dari Anas bin Malik, ia berkata: “telah melonjak harga (di
pasar) pada masa Rasulullah SAW. Mereka (para sahabat) berkata: wahai
Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab “sesungguhnya
Allah lah yang menguasai (harga), yang member rizki, yang memudahkan, dan yang
menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak
seorangpun (boleh) memintaku untuk melakukan kezoliman dalam persoalanjiwa
harta”. (Riwayat Abu Daud). Jika dicermati kontek teks hadis tersebut, tampak
jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga jika kenaikan
harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan
yang alami. Dengan kata lain dalam hal demikian, pemerintah tidak mempunyai hak
untuk melakukan intervensi harga. Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah
tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu: para pedagang
tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan
masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan dan merusak mekanisme
pasar; dan para pedagang melakukan praktik banting harga yang dapat menimbulkan
persaingan yang tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.
4. Wawasan Modern Teori Yahya Bin Umar
Sekalipun
tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam al-Suq, adalah mengenai
hukum-hukum pasar. Namun pada dasarnya konsep Yahya bin Umar lebih benyak
terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al-ighraq. Dalam ekonomi
kontenporer, kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah monopoly’s
rent-seek-ing dan dumping. Selanjutnya lebih jauh ia mengembangkan pemikirannya
antara lain:
a. Islam secara tegas melarang ihtikar
Islam
secara tegas melarang ihtikar, yakni mengambil keuntungan diatas keuntungan
normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
Dalam hal ini Rasulullah saw menyatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan dosa
besar. Abu Dzar al-Ghifari menyatakan bahwa hukum ihtikar tetap haram meskipun
zakat barang-barang yang menjadi objek ihtikar tersebut telah ditunaikan. Para
ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan
kemudharatan bagi umat manusia. Ihtikar tidak hanya merusak mekanisme pasar,
tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain serta
menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia. Dari
definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebuah aktifitas
ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar memenuhi setidaknya dua
syarat yaitu: objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat;
dan tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan diatas keuntungan normal.
b. Siyasah al-Ighraq (Dumping policy)
Berbanding
terbalik dengan ihtikar, siyasah al-ighraq bertujuan meraih keuntungan dengan
cara menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari pada harga yang
berlaku di pasaran. Perilaku ini secara tegas dilarang dalam Islam karena dapat
menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas. Dalam prakteknya, dumping baru
dipandang sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan oleh
sebuah perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu: industri tersebut bersifat
tidak sempurna, sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price maker, bukan
sebagai price taker; dan pasar harus tersegmentasi sehingga penduduk di dalam
negeri tidak dapat dengan mudah membeli barang-barang yang akan diekspor.
c. Dumping Resiprokal
Analisis
dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi harga akan dapat
meningkatkan perdagangan luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh, akan
Nampak jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Contohnya sebuah
pabrik semen di Negara A melakukan ekspor ke Negara B, dan sebaliknya, pabrik
semen di Negara B melakukan ekspor ke Negara A. Walaupun terlihat ekstrim dan
pada kenyataannya jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini
menunjukkan bahwa dumping resiprokal tidak dapat meningkatkan volume
perdagangan, bahkan merupakan perbuatan yang sia-sia.
d. Penetapan Harga
Penetapan
harga merupakan tema sentral dalam kitab al-Ahkam al-Suq. Imam Yahya bin Umar
berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang berbeda. Tampaknya ia ingin
menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam
sebuah transaksi. Sedangkan pembagian terhadapnya akan dapat menimbulkan
kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
e. Mekanisme Harga
Kebebasan
tersebut juga berarti bahwa harga dalam pandangan Yahya bin Umar, ditentukan
oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Namun, ia menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada
kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah pemerintah berhak untuk
melakukan intervensi pasar ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar
yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah
berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Hukuman ini berarti
melarang pelaku melakukan aktifitas ekonominya di pasar, bukan merupakan hukum
maliyyah.
Menurut
Dr. Rifa’at al-Aududi, pernyataan Imam Yahya bin Umar yang melarang praktik
banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi
murah, akan tetapi pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak
negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika dilihat dari sisi masa hidupnya yang
relatif dekat dengan masa hidup Rasulullah saw. Wawasan pengetahuannya serta
isi, format dan metodologi kitab al-amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai
pemimpin dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” diantara para penulis tentang
keuangan publik.
Karya Abu Ubaid yang terbesar dan terkenal adalah kitab al-amwal dalam
bidang fikih. KitabAl-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap
tentang keuangan negara dalam Islam. Sedangkan karya Yahya bin Umar fokus
perhatiannya tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapan harga).
B. Saran
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan, kami berharap para pembaca lebih mengetahui
dan memahami bagaimana ekonomi islam yang benar dan setelah kita mengetahui
alangkah baiknya mengimplementasikan ekonomi islam itu dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan kondisi saat ini
semakin banyak praktek-praktek seperti halnya dumping dan juga ihtikar. kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita. Aamin.
Akhirnya, terima kasih atas segala partisipasi semua pihak,
mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Azwar
Karim, Adiwarman. 2010. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.
Chamid,
Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
P3EI.
2009. Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.
1
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hal. 264
2 Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hal.177
3
P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal.108
4 [4] Ibid, hal. 197
Tidak ada komentar:
Posting Komentar