Kamis, 20 Desember 2018

MAKALAH FILSAFAT ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah ilmu pengetahuan dimulai ketika Allah swt mengajarkan nama-nama pepohonan dan tumbuhan yang tumbuh di surga kepada nabi Adam, hal ini kemudian menjadikan para malaikat dan jin diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, karena kemampuan pengetahuan Adam yang lebih dibanding mahluk ciptaan Allah swt yang lain.
Ketika merujuk sumber-sumber ayat yang ada dalam al-Qur’an maka akan banyak ditemukan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan yang memenuhi lembaran-lembaran wahyu Allah swt dan merupakan mu’jizat terakhir Rasulullah Muhammad saw. Kenapa kemudian al-Qur’an berisi banyak tentang ilmu dan pengetahuan disamping tauhid, hukum, sejarah dan kisah-kisah, dikarenakan masa dimana mu’jizat ini turun dan masa depan dimana mu’jizat ini diperlukan adalah masa-masa dimana ilmu pengetahuan merupakan buah tertinggi dari hasil peradaban manusia yang berpikir.
Pada masa-masa awal yang disebut sebagai masa manusia mulai berpikir tentang sophos diabadikan banyak oleh filosof-filosof awal Yunani seperti Thales, Aristoteles dan Plato. Dalam Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris[1].
Pada zaman yunani ini memang kegiatan berfilsafat hanya dimiliki oleh kaum tertentu, kaum elite ini kemudian menggunakan seluruh daya dan kemampuannya untuk mencoba menerangkan berbagai fenomena yang timbul dari keadaan alam sekitar dan kehidupan mereka. Apa yang dilakukan kaum ini sekilas memang tampak aneh bagi kaum awam yang hanya menggunakan hidupnya hanya untuk mencari nafkah lahiriah. Keadaan diatas sebetulnya tidak aneh kalau kembali melirik atau mengkaji al-Qur’an dimana akan ditemukan fakta sejarah tentang Nabi-nabi yang mengalami hal-hal yang kurang berkenan karena kebenaran yang mereka bawa, kebenaran yang tak terlepas dari jalan hidup bagi kaum awam untuk mencapai fase-fase kehidupan yang lebih baik.
Jika dicermati, keadaan diatas mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan pengetahuan, tingkatan-tingkatan pengetahuan ini kemudian mengacu pada seberapa besar tingkat pengetahuan yang diterima oleh setiap individu. Problem ini kemudian menjadikan celah sosial besar, membuat kelompok yang memiliki tingkatan pengetahuan yang lebih diatas berusaha menekan atau memarginalkan golongan yang lebih dibawah sehingga kemudian tercipta clash civilisation, dan membuat wabah yang berasal dari komunitas kecil ini kemudian meluas melampaui batas-batas regional dan negara.
Ketika keadaan dimana ilmu pengetahuan menjadi kehilangan ruh terutama pada tataran teknologi itu sendiri, manusia menjadi budak ilmu pengetahuan, padahal seyogyanya ilmu pengetahuan dipelajari untuk pencapaian maksimal di segala lini kehidupan. Zaman inilah kemudian menjadi saksi lahirnya cabang baru filsafat yaitu filsafat ilmu, dimana salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanyalah merupakan instrumen dan bukan merupakan suatu tujuan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.                   Apa ontologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?
2.                  Bagaimana epistimologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?
3.                   Apa aksiologi ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu?













BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum membahas lebih dalam tentang hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu dalam tinjauan epistemologis, ontologis dan aksiologis itu sendiri kita memulai membedah dari filsafat itu sendiri.
Filsafat secara etimologi berasal dari kata yunani filosofia, yang juga berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta dan sophia yang berarti kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata philosophy dalam bahasa Inggris yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.[2]
Perkembangan filsafat kemudian membuat ilmu ini mempunyai satu cabang ilmu yang membahas tentang ilmu itu sendiri, yang kemudian kita namakan sebagai filsafat ilmu. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata cara untuk menggunakan sarana itu guna mencapai pengetahuan ilmiah. Penggalian sumber dan sarana ini kemudian menjadi signifikansi utama pembahasan filsafat ilmu. Karena kedudukan filsafat ilmu masih berada dalam lingkungan filsafat itu sendiri maka tinjauan epistemologi, ontologi dan aksiologi ilmu pengetahuan merupakan materi utama yang menjadi landasan penelitian para filosof.



A.      Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Landasan Ontologi.
Sebelum membahas lebih jauh tentang hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu, maka perlu lebih dulu diuraikan tentang pemaknaan istilah ontologi, ilmu dan pengetahuan
Ontologi merupakan salah satu lapangan penelitian filsafat yang paling kuno, dalam persoalan ontologi kerap kali menghadapi persoalan “bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ?” atau lebih singkatnya cabang filsafat yang mempertanyakan tentang eksistensi sesuatu dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Ontologi berasal dari bahasa yunani onto = being (keberadaan) merupakan bentuk kata kerja bentuk sedang dari “be” dan –logia = pengetahuan, penelitian dan teori, jadi ontologi adalah studi filsafat tentang sifat “ada,” eksistensi atau realitas, serta kategori dasar tentang “ada” dan hubungan “ada” tersebut.[3]
Ilmu berasal dari bahasa Arab yang berarti ilmu adalah menyadari sesuatu dengan hakikatnya[4]. Adapun pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[5] Adapun terminologi “pengetahuan” adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu.
Untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan dalam pespektif filsafat ilmu menurut tinjauan ontologi maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ilmu pengetahuan itu?.” The Liang Gie menurut Drs. Surajiyo memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan kesuluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti oleh manusia.[6]
Jadi ilmu diawali dari rasa ingin tahu manusia dari segala apa yang ada, terjadi dan konflik yang kemudian berlanjut menjadi aktivitas mencari solusi dan selajutnya menjadi sebuah metode untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan itu sendiri. Kesistematisan rangkaian ini merupakan hasil dari rangkaian berpikir, merasa dan mengindera sehingga menghasilkan ilmu. Jadi ilmu pengetahuan bersifat terbuka tanpa ada ikatan yang kemudian mengikat dalam batas-batas yang menjadikannya terkungkung dalam satu paham-paham tertentu.
Burhanuddin Salam (lihat Amsal Bakhtiar, 2010) kemudian memberikan beberapa jenis pengetahuan yang dimiliki manusia dibagi dalam empat jenis, yaitu:
1.    Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik.[7]
2.    Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan objektif.[8]
3.    Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.[9]
4.    Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusanNya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh pemeluk agama[10]
Keberadaan keempat jenis pengetahuan ini kemudian menjadi bukti tentang keberadaan ilmu pengetahuan itu sendiri, meskipun tingkatan aktivitas pencarian ilmu untuk mengetahui keempat hal diatas akan menentukan besarnya tingkatan pengetahuan tersebut nantinya.
Pengenalan lebih dalam tentang ilmu pengetahuan kemudian membawa penelitian lebih lanjut tentang ciri-ciri ilmu pengetahuan tersebut, menurut The Liang Gie ilmu pengetahuan memiliki 5 ciri pokok:
1.        Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2.        Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai ketergantungan dan teratur.
3.        Objektif, ilmu bebas dari prasangka perseorangan dan kesenangan pribadi.
4.        Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan dan peranan dari bagian-bagian tersebut.
5.        Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.
Ciri-ciri yang diatas ketika kita meneliti lebih jauh tidaklah kemudian menjadi identitas utama untuk dijadikan patokan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan gambaran utuh tentang hakikat ilmu pengetahuan yang ditinjau dari ontologi gambaran tersebut sudah cukup mewakili perspektif filsafat ilmu sendiri.
Sedangkan bagi mereka yang memandang dengan kacamata Islam akan menemukan banyak titik tolak yang mungkin berbeda karena perbedaan titik pandang dalam mempertanyakan tentang hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, meski signifikansinya tidak terlalu besar pada kajian ontologis sendiri. 
B.       Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Landasan  Epistemologi
Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara 2 cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaan pokoknya adalah apakah hal yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apakah yang dapat saya ketahui?[11]
Epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme dan logos, episteme berarti pengetahuan dan logos berarti penelitian atau teori, jadi epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, yang membahas pertanyaan-pertanyaan seperti apa itu pengetahuan?, bagaimana pengetahuan itu diperoleh?, dan bagaiman kita mengetahu apa yang kita ketahui?.[12]
Untuk menjawab salah satu pertanyaan penting dalam epistemologi how is knowledge acquired?, maka menurut John Hoppers dalam bukunya An Introduction to Philosopical Analysis mengemukakan ada 6 hal yang digunakan untuk mengetahui terjadinya pengetahuan, yaitu sebagai berikut :
1.    Pengalaman indra (sense experience)
2.    Nalar (reason)
3.    Otoritas (authority)
4.    Intiuisi (intuition)
5.    Wahyu (revelation)
6.    Keyakinan (faith)[13]
Darimana pengetahuan itu berasal dan apa yang diyakini sebagai kebenaran juga bisa dilihat dari aliran dalam pengetahuan, dari aliran ini tampak jelas perbedaan bagaimana pengetahuan itu berasal. Diantara aliran itu, yakni sebagai berikut:
a)    Rasionalisme : aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal).
b)   Empirisme : aliran ini berpendapat, bahwa empiris atau pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriah.
c)    Kritisisme : penyelesaian pertentangan antara rasionalisme dan empirisme merupakan jalan penyelesaian yang dipilih oleh Imannuel Kant.
d)   Positivisme : aliran ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan yang positif, jadi segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan
Terlepas dari pengaruh aliran-aliran pemikiran pengetahuan juga memiliki langkah-langkah penyelidikan yang disusun secara sistematis untuk menghasilkan pengetahuan, aktivitas-aktivitas penyelidikan biasanya dimulai dari tahap perumusan masalah, yang dimana merupakan tahap awal identifikasi permasalahan untuk mengumpulkan fakta-fakta yang diperlukan nantinya. Tahapan kedua kemudian dilanjutkan dengan pengamatan, pengumpulan data atau observasi, yang dimana hasil dari pengamatan dan observasi dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Setelah terkumpul pernyataan-pernyataan maka rangkaian/tahapan selanjutnya adalah klasifikasi data, dalam tahap ini data dikelompokkan dan diklasifikasi untuk membedakan data yang relevan. Tahap selanjutnya adalah tahap generalisasi semua pernyataan-pernyataan yang telah diklasifikasi, pada tahapan ini teori terbentuk. Teori tersebut kemudian dibawah pada tahapan selanjutnya tahapan prediksi, dimana teori yang sudah terbentuk tadi, diturunkan menjadi hipotesis baru dan dibuatkan pernyataan yang runtut untuk kemudian dibawa ke tahap verifikasi akhir dimana uji kebenaran dilakukan.
Pengetahuan pada akhirnya merupakan hasil dari rangkaian kegiatan manusia atau proses yang nantinya menghasilkan produk untuk kemanfaatan manusia sendiri.
C.      Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Tinjauan Aksiologi
Aksiologi berasala dari bahasa yunani axia yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksioloi adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang nilai.[14]
Peradaban manusia sudah berhutang kepada ilmu pengetahuan, dimana pencapaian nyata yang terjadi dalam banyak lini kehidupan semua disebabkan oleh ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan memberi banyak kemudahan dalam proses manusia menikmati hidup. Jadi secara singkat ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian pertanyaan kembali diajukan, “apakah ilmu selalu menjadi  berkah dan penyelamat bagi manusia?,” pertanyaan ini nantinya perlu penyelidikan lebih lanjut terutama di zaman ini, dimana produk-produk ilmu pengetahuan sudah banyak yang melewati batas-batas positif sebagai sarana untuk memudahkan hidup, bahkan kemudian sudah ada produk yang menghancurkan peradaban itu sendiri, contoh yang paling aktual adalah akhir perang dunia kedua dimana kota Hiroshima dan Nagasaki menjadi saksi mata kehancuran itu sendiri.
Memang dalam kenyataan sejarah ilmu pengetahuan pernah dikungkung seperti yang kita lihat pada produk pemikiran Galileo yang oleh pengadilan gereja dipaksa untuk membatalkan pernyataannya tentang revolusi bumi memutari matahari. Sejak saat itu para ilmuwan berusaha menegakkan ilmu bebas nilai dan tendensi apapun, proses inipun kemudian dimenangkan oleh para ilmuwan yang dimana sejak itu ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik.
Meskipun terjadi otonomi ilmu pengetahuan, tetapi untuk menciptakan sebuah produk pemikiran dari ilmu pengetahuan yang mempunyai nilai maka diperlukan etika keilmuan, etika keilmuan yang selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab. Etika keilmuan ini akan menjadikan produk ilmu pengetahuan mempunyai nilai.
Abbas Hamami (lihat Surajiyo, 2007) menyatakan sedikitnya ada enam sikap ilmiah yang perlu dimiliki seorang ilmuwan, yaitu sebagai berikut:
a.         Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
b.         Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
c.         Adanya rasa percaya lebih baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi.
d.         Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan dan dengan merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori terdahulu telah mencapai kepastian.
e.         Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap apa yang dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktifitas yang menonjol dalam kehidupannya
f.          Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia.[15]
Peranan etika keilmuwan lebih lanjut juga dibahas dengan lebih dalam oleh ulama-ulama Islam dimana memberikan peranan yang besar terhadap hati, karena hati menyerupai kaca cermin yang memantulkan dengan baik gambar-gambar yang jelas ketika cermin itu disinari dan dibersihkan, sama halnya yang terjadi pada produk-produk pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih akan menghasilkan kebenaran dan realitas yang akan membawa ilmu pengetahuan menjadi sebuah sarana untuk memudahkan kehidupan manusia bukan sebaliknya.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.        Hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat berdasarkan tinjauan ontologi mempunyai ciri-ciri yaitu bersifat empiris, bersifat sistematis, bersifat objektif, bersifat analitis dan bersifat verifikatif. Yang juga menjadi bukti keberadaan ilmu pengetahuan adalah pembagian jenis ilmu pengetahuan dalam empat bagian yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat dan pengetahuan agama.
2.        Ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu berdasarkan tinjauan epistemologi memandang bahwa asal metodologi pengetahuan dapat dikaji dari aliran-aliran pemikiran yang berkembang, diantara aliran itu yakni, sebagai berikut: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme dan Positivisme.
3.        Ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat berdasarkan tinjauan aksiologi ilmu pengetahuan itu mengandung nilai, dan kebenaran ilmu pengetahuan yang dikandumgnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan ilmu semata yang hanya mengejar kebenaran objektif yang bebas nilai melainkan selalu terkait dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat  manusia.


DAFTAR PUSTAKA


Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum.  Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Cet. 1; Bandung: Arasy, 2005.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Cet. 9; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Golshani, Mehdi. The Holy Quran and the Science of Nature. Terj. Agus Efendi, Filsafat-Sains Menurut al-Quran.  Bandung: Mizan, 2003.
Kattsoff, Louis O. Elements of Philosophy. Terj. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat. Cet. II; Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1987.
Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Syafiie, Inu Kencana. Filsafat Kehidupan. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Yanto, Subari dan Zainal Arifin, Filsafat Ilmu.  Cet. II; Makassar: UPT Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Makassar, 2009.



[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet. 9; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. ix.
[2]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Cet. 1; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1.
[3]“ontology,” Wikipedia the Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Ontology (24 september 2011).
[4]Ra>gib al-Asfaha>ni>, Al-Mufrada>t fi Gari>b al-Qur’an (t.t.: Dar al-Ma‘rifah, t.th.) h. 343
[5]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2002 ), h. 423.
[6]Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 56
[7]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 30.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11] Surajiyo, op. cit., h. 24.
[12]Epistemology,” Wikipedia the Free Ensiklopedia. http ://en.wikipedia.org/wiki/ Epistemology (24 september 2011)
[13]Surajiyo, op. cit., h. 28.
[14]“aksiologi” Wikipedia the Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Axiology (25 september 2011).
[15] Surajiyo, op. cit., h. 154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar