BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah ilmu pengetahuan dimulai ketika
Allah swt mengajarkan nama-nama pepohonan dan tumbuhan yang tumbuh di surga
kepada nabi Adam, hal ini kemudian menjadikan para malaikat dan jin
diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, karena kemampuan pengetahuan Adam
yang lebih dibanding mahluk ciptaan Allah swt yang lain.
Ketika
merujuk sumber-sumber ayat yang ada dalam al-Qur’an maka akan banyak ditemukan
kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan yang memenuhi
lembaran-lembaran wahyu Allah swt dan merupakan mu’jizat terakhir Rasulullah
Muhammad saw. Kenapa kemudian al-Qur’an berisi banyak tentang ilmu dan
pengetahuan disamping tauhid, hukum, sejarah dan kisah-kisah, dikarenakan masa
dimana mu’jizat ini turun dan masa depan dimana mu’jizat ini diperlukan adalah
masa-masa dimana ilmu pengetahuan merupakan buah tertinggi dari hasil peradaban
manusia yang berpikir.
Pada masa-masa
awal yang disebut sebagai masa manusia mulai berpikir tentang sophos
diabadikan banyak oleh filosof-filosof awal Yunani seperti Thales, Aristoteles
dan Plato. Dalam Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban manusia karena waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia
dari mitosentris menjadi logosentris[1].
Pada zaman
yunani ini memang kegiatan berfilsafat hanya dimiliki oleh kaum tertentu, kaum elite
ini kemudian menggunakan seluruh daya dan kemampuannya untuk mencoba
menerangkan berbagai fenomena yang timbul dari keadaan alam sekitar dan
kehidupan mereka. Apa yang dilakukan kaum ini sekilas memang tampak aneh bagi
kaum awam yang hanya menggunakan hidupnya hanya untuk mencari nafkah lahiriah. Keadaan
diatas sebetulnya tidak aneh kalau kembali melirik atau mengkaji al-Qur’an
dimana akan ditemukan fakta sejarah tentang Nabi-nabi yang mengalami hal-hal
yang kurang berkenan karena kebenaran yang mereka bawa, kebenaran yang tak
terlepas dari jalan hidup bagi kaum awam untuk mencapai fase-fase kehidupan
yang lebih baik.
Jika
dicermati, keadaan diatas mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan pengetahuan,
tingkatan-tingkatan pengetahuan ini kemudian mengacu pada seberapa besar
tingkat pengetahuan yang diterima oleh setiap individu. Problem ini kemudian
menjadikan celah
sosial besar, membuat kelompok yang memiliki
tingkatan pengetahuan yang lebih diatas berusaha menekan atau memarginalkan
golongan yang lebih dibawah sehingga kemudian tercipta clash civilisation, dan membuat wabah
yang berasal dari komunitas kecil ini kemudian meluas melampaui batas-batas regional
dan negara.
Ketika
keadaan dimana ilmu pengetahuan menjadi kehilangan ruh terutama pada tataran
teknologi itu sendiri, manusia menjadi budak ilmu pengetahuan, padahal
seyogyanya ilmu pengetahuan dipelajari untuk pencapaian maksimal di segala lini
kehidupan. Zaman inilah kemudian menjadi saksi lahirnya cabang baru filsafat
yaitu filsafat ilmu, dimana salah satu tujuan filsafat
ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanyalah merupakan instrumen dan bukan merupakan suatu tujuan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa ontologi ilmu pengetahuan dalam perspektif
filsafat ilmu?
2.
Bagaimana epistimologi ilmu pengetahuan dalam perspektif
filsafat ilmu?
3.
Apa aksiologi ilmu pengetahuan dalam perspektif
filsafat ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih dalam tentang
hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu dalam tinjauan epistemologis, ontologis dan aksiologis itu
sendiri kita memulai membedah dari filsafat itu sendiri.
Filsafat secara etimologi berasal dari kata
yunani filosofia, yang juga berasal dari kata kerja filosofein yang
berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata yunani philosophis
yang berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia
yang berarti cinta dan sophia yang berarti kearifan. Dari kata tersebut
lahirlah kata philosophy dalam bahasa
Inggris yang
biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.[2]
Perkembangan filsafat kemudian membuat ilmu
ini mempunyai satu cabang ilmu yang membahas tentang ilmu itu sendiri, yang
kemudian kita namakan sebagai filsafat ilmu. Melalui cabang filsafat ini
diterangkan sumber dan sarana serta tata cara untuk menggunakan sarana itu guna
mencapai pengetahuan ilmiah. Penggalian sumber dan sarana ini kemudian menjadi
signifikansi utama pembahasan filsafat ilmu. Karena kedudukan filsafat ilmu masih
berada dalam lingkungan filsafat itu sendiri maka tinjauan epistemologi,
ontologi dan aksiologi ilmu pengetahuan merupakan materi utama yang menjadi
landasan penelitian para filosof.
A. Hakikat Ilmu Pengetahuan
dalam Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Landasan Ontologi.
Sebelum
membahas lebih jauh tentang hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat
ilmu, maka perlu lebih dulu diuraikan tentang pemaknaan istilah ontologi, ilmu
dan pengetahuan
Ontologi
merupakan salah satu lapangan penelitian filsafat yang paling kuno, dalam
persoalan ontologi kerap kali menghadapi persoalan “bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ?” atau lebih singkatnya cabang
filsafat yang mempertanyakan tentang eksistensi sesuatu dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Ontologi berasal dari bahasa yunani onto
= being (keberadaan) merupakan bentuk kata kerja bentuk sedang dari “be”
dan –logia = pengetahuan, penelitian dan teori, jadi ontologi adalah
studi filsafat tentang sifat “ada,” eksistensi atau realitas, serta kategori
dasar tentang “ada” dan hubungan “ada” tersebut.[3]
Ilmu berasal
dari bahasa Arab yang berarti ilmu adalah menyadari sesuatu dengan
hakikatnya[4].
Adapun pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang sesuatu yang
disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat dipergunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[5]
Adapun terminologi “pengetahuan” adalah suatu istilah yang dipergunakan
untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu.
Untuk mengetahui hakikat ilmu
pengetahuan dalam pespektif filsafat ilmu menurut tinjauan ontologi maka
pertanyaan yang harus dijawab adalah “apakah
ilmu pengetahuan itu?.” The Liang Gie menurut
Drs. Surajiyo memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan
yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman
rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan kesuluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti oleh manusia.[6]
Jadi ilmu
diawali dari rasa ingin tahu manusia dari segala apa yang ada, terjadi dan konflik
yang kemudian berlanjut menjadi aktivitas mencari solusi dan selajutnya menjadi sebuah metode untuk mencari dan mendapatkan
pengetahuan itu sendiri. Kesistematisan rangkaian ini merupakan hasil dari
rangkaian berpikir, merasa dan mengindera sehingga menghasilkan ilmu. Jadi ilmu
pengetahuan bersifat terbuka tanpa ada ikatan yang kemudian mengikat dalam
batas-batas yang menjadikannya terkungkung dalam satu paham-paham tertentu.
Burhanuddin
Salam (lihat Amsal Bakhtiar, 2010) kemudian memberikan beberapa jenis
pengetahuan yang dimiliki manusia dibagi dalam empat jenis, yaitu:
1. Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam
filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan good
sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik.[7]
2. Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science.
Dalam pengertian sempit science diartikan untuk
menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan objektif.[8]
3. Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh
dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat
lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.[9]
4. Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya
diperoleh dari Tuhan lewat para utusanNya. Pengetahuan agama bersifat mutlak
dan wajib diyakini oleh pemeluk agama[10]
Keberadaan keempat jenis pengetahuan ini
kemudian menjadi bukti tentang keberadaan ilmu pengetahuan itu sendiri,
meskipun tingkatan aktivitas pencarian ilmu untuk mengetahui keempat hal diatas
akan menentukan besarnya tingkatan pengetahuan tersebut nantinya.
Pengenalan
lebih dalam tentang ilmu pengetahuan kemudian membawa penelitian lebih lanjut
tentang ciri-ciri ilmu pengetahuan tersebut, menurut The Liang Gie ilmu
pengetahuan memiliki 5 ciri pokok:
1.
Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan
pengamatan dan percobaan.
2.
Sistematis, berbagai keterangan dan data
yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai ketergantungan dan
teratur.
3.
Objektif, ilmu bebas dari prasangka
perseorangan dan kesenangan pribadi.
4.
Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha
membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami
berbagai sifat, hubungan dan peranan dari bagian-bagian tersebut.
5.
Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya
oleh siapa pun juga.
Ciri-ciri yang diatas ketika kita meneliti
lebih jauh tidaklah kemudian menjadi identitas utama untuk dijadikan patokan
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi untuk mendapatkan gambaran utuh
tentang hakikat ilmu pengetahuan yang ditinjau dari ontologi gambaran tersebut
sudah cukup mewakili perspektif filsafat ilmu sendiri.
Sedangkan bagi mereka yang memandang dengan
kacamata Islam akan menemukan banyak titik tolak yang mungkin
berbeda karena perbedaan titik pandang dalam mempertanyakan tentang hakikat
ilmu pengetahuan itu sendiri, meski signifikansinya tidak terlalu besar pada
kajian ontologis sendiri.
B.
Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Berdasarkan Landasan Epistemologi
Istilah epistemologi pertama kali dipakai
oleh J.F Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara 2 cabang filsafat,
yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika
pertanyaan pokoknya adalah “apakah hal yang ada itu?” Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah “apakah yang dapat saya ketahui?”[11]
Epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme
dan logos, episteme berarti pengetahuan dan logos berarti
penelitian atau teori, jadi epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, yang membahas pertanyaan-pertanyaan
seperti “apa itu pengetahuan?,” “bagaimana pengetahuan itu diperoleh?,” dan “bagaiman kita mengetahu apa yang kita
ketahui?.”[12]
Untuk menjawab salah satu pertanyaan
penting dalam epistemologi how is knowledge acquired?, maka menurut John Hoppers dalam bukunya An Introduction to
Philosopical Analysis mengemukakan ada 6 hal yang digunakan untuk
mengetahui terjadinya pengetahuan, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience)
2. Nalar (reason)
3. Otoritas (authority)
4. Intiuisi (intuition)
5. Wahyu (revelation)
6. Keyakinan (faith)[13]
Darimana pengetahuan itu berasal dan apa
yang diyakini sebagai kebenaran juga bisa dilihat dari aliran dalam
pengetahuan, dari aliran ini tampak jelas perbedaan bagaimana pengetahuan itu
berasal. Diantara aliran itu, yakni sebagai berikut:
a) Rasionalisme : aliran ini berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal).
b) Empirisme : aliran ini berpendapat, bahwa empiris atau
pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang
batiniah maupun yang lahiriah.
c) Kritisisme : penyelesaian pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme merupakan jalan penyelesaian yang dipilih oleh Imannuel Kant.
d) Positivisme : aliran ini berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual dan yang positif, jadi segala uraian dan
persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan
Terlepas dari pengaruh aliran-aliran pemikiran pengetahuan juga memiliki
langkah-langkah penyelidikan yang disusun secara sistematis untuk menghasilkan
pengetahuan, aktivitas-aktivitas penyelidikan biasanya dimulai dari tahap
perumusan masalah, yang dimana merupakan tahap awal identifikasi permasalahan
untuk mengumpulkan fakta-fakta yang diperlukan nantinya. Tahapan kedua kemudian
dilanjutkan dengan pengamatan, pengumpulan data atau observasi, yang dimana
hasil dari pengamatan dan observasi dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan.
Setelah terkumpul pernyataan-pernyataan maka rangkaian/tahapan selanjutnya
adalah klasifikasi data, dalam tahap ini data dikelompokkan dan diklasifikasi
untuk membedakan data yang relevan. Tahap selanjutnya adalah tahap generalisasi
semua pernyataan-pernyataan yang telah diklasifikasi, pada tahapan ini teori
terbentuk. Teori tersebut kemudian dibawah pada tahapan selanjutnya tahapan
prediksi, dimana teori yang sudah terbentuk tadi, diturunkan menjadi hipotesis
baru dan dibuatkan pernyataan yang runtut untuk kemudian dibawa ke tahap
verifikasi akhir dimana uji kebenaran dilakukan.
Pengetahuan pada akhirnya merupakan hasil dari rangkaian kegiatan
manusia atau proses yang nantinya menghasilkan produk untuk kemanfaatan manusia
sendiri.
C. Ilmu Pengetahuan Dalam
Perspektif Filsafat Ilmu Berdasarkan Tinjauan Aksiologi
Aksiologi
berasala dari bahasa yunani axia yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Jadi aksioloi adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari
tentang nilai.[14]
Peradaban
manusia sudah berhutang kepada ilmu pengetahuan, dimana pencapaian nyata yang
terjadi dalam banyak lini kehidupan semua disebabkan oleh ilmu pengetahuan,
ilmu pengetahuan memberi banyak kemudahan dalam proses manusia menikmati hidup.
Jadi secara singkat ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai
tujuan hidupnya.
Kemudian
pertanyaan kembali diajukan, “apakah ilmu selalu menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia?,” pertanyaan
ini nantinya perlu penyelidikan lebih lanjut terutama di zaman ini, dimana
produk-produk ilmu pengetahuan sudah banyak yang melewati batas-batas positif
sebagai sarana untuk memudahkan hidup, bahkan kemudian sudah ada produk yang
menghancurkan peradaban itu sendiri, contoh yang paling aktual adalah akhir
perang dunia kedua dimana kota Hiroshima dan Nagasaki menjadi saksi mata
kehancuran itu sendiri.
Memang
dalam kenyataan sejarah ilmu pengetahuan pernah dikungkung seperti yang kita
lihat pada produk pemikiran Galileo yang oleh pengadilan gereja dipaksa untuk
membatalkan pernyataannya tentang revolusi bumi memutari matahari. Sejak saat
itu para ilmuwan berusaha menegakkan ilmu bebas nilai dan tendensi apapun,
proses inipun kemudian dimenangkan oleh para ilmuwan yang dimana sejak itu ilmu
mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik.
Meskipun
terjadi otonomi ilmu pengetahuan, tetapi untuk menciptakan sebuah produk
pemikiran dari ilmu pengetahuan yang mempunyai nilai maka diperlukan etika
keilmuan, etika keilmuan yang selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral
yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab. Etika keilmuan ini akan
menjadikan produk ilmu pengetahuan mempunyai nilai.
Abbas Hamami (lihat Surajiyo, 2007) menyatakan
sedikitnya ada enam sikap ilmiah yang perlu dimiliki seorang ilmuwan, yaitu
sebagai berikut:
a.
Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness),
artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
b.
Bersikap selektif, yaitu suatu
sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap
segala sesuatu yang dihadapi.
c.
Adanya rasa percaya lebih baik
terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi.
d.
Adanya sikap yang berdasar pada
suatu kepercayaan dan dengan merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori
terdahulu telah mencapai kepastian.
e.
Adanya suatu kegiatan rutin
bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap apa yang dilakukan
sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktifitas yang menonjol
dalam kehidupannya
f.
Seorang ilmuwan harus memiliki
sikap etis yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu
dan untuk kebahagiaan manusia.[15]
Peranan
etika keilmuwan lebih lanjut juga dibahas dengan lebih dalam oleh ulama-ulama Islam dimana memberikan peranan yang besar
terhadap hati, karena hati menyerupai kaca cermin
yang memantulkan dengan baik gambar-gambar yang jelas ketika cermin itu
disinari dan dibersihkan, sama halnya yang terjadi pada produk-produk
pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih akan menghasilkan kebenaran dan
realitas yang akan membawa ilmu pengetahuan menjadi sebuah sarana untuk
memudahkan kehidupan manusia bukan sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Hakikat ilmu pengetahuan dalam
perspektif filsafat berdasarkan tinjauan ontologi mempunyai ciri-ciri yaitu bersifat empiris, bersifat sistematis, bersifat objektif, bersifat analitis dan bersifat
verifikatif. Yang juga menjadi bukti keberadaan ilmu pengetahuan adalah
pembagian jenis ilmu pengetahuan dalam empat bagian yaitu pengetahuan biasa,
pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat dan pengetahuan agama.
2.
Ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu berdasarkan tinjauan
epistemologi memandang bahwa asal metodologi pengetahuan dapat dikaji dari
aliran-aliran pemikiran yang berkembang, diantara aliran itu yakni, sebagai
berikut: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme dan Positivisme.
3.
Ilmu pengetahuan dalam perspektif
filsafat berdasarkan tinjauan aksiologi ilmu pengetahuan itu mengandung nilai,
dan kebenaran ilmu pengetahuan yang dikandumgnya bukan untuk kebesaran ilmu
pengetahuan ilmu semata yang hanya mengejar kebenaran objektif yang
bebas nilai melainkan selalu terkait dengan kemungkinan terwujudnya
kesejahteraan dan kebahagiaan umat
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. Filsafat Umum. Cet. 1;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Bagir,
Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Cet. 1; Bandung: Arasy, 2005.
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu. Cet. 9; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Golshani,
Mehdi. The Holy Quran and the Science of Nature. Terj. Agus Efendi, Filsafat-Sains
Menurut al-Quran. Bandung: Mizan,
2003.
Kattsoff,
Louis O. Elements of Philosophy. Terj. Soejono Soemargono, Pengantar
Filsafat. Cet. II; Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1987.
Surajiyo. Filsafat
Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara,
2007.
Syafiie, Inu
Kencana. Filsafat Kehidupan. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Yanto,
Subari dan Zainal Arifin, Filsafat Ilmu.
Cet. II; Makassar: UPT Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Makassar,
2009.
[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet. 9; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. ix.
[3]“ontology,”
Wikipedia the Free Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Ontology
(24 september 2011).
[5]Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2002 ), h. 423.
[6]Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di
Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 56
[7]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 30.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[12]“Epistemology,” Wikipedia the Free Ensiklopedia. http ://en.wikipedia.org/wiki/ Epistemology (24 september 2011)
[13]Surajiyo, op. cit., h. 28.
[14]“aksiologi” Wikipedia the Free
Encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Axiology (25 september 2011).
[15]
Surajiyo, op. cit., h.
154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar