Jumat, 21 Desember 2018

MAKALAH WAKAF

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Wakaf yaitu menahan ‘ain suatu harta sehingga hukumnya menjadi milik Allah dengan menggunakan manfaatnya untuk yang disukai, adapun pengertian lain waqaf adalah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT.
Hukum wakaf menurut para ulama dibagi menjadi lima yaitu sunnah, wajib, mubah, dan haram. Hukum dapat berubah, apabila dihadapkan pada suatu konteks dan niat tertentu.
Perbedaan waqaf dengan sedekah, walaupun wakaf bagian dari sedekah tetapi menpunyai keunikan yang khas yaitu manfaat yang terus menerus, pahala yang terus menerus, dan adanya pengelola.
Lebih lanjut dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah wakaf, pengertian, masyru’riyah wakaf, hukum wakaf, macam-macam wakaf, perbedaan wakaf dengan shadaqah lainnya, dan hikmah wakaf.
1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah-masalah yang akan menjadi bahan dalam penulisanmakalah. Rumusanmasalahnyaadalah:
A.    Apa pengertian dari wakaf?
B.     Apa saja hukum-hukum wakaf?
C.     Apa saja macam-macam wakaf?
D.    Apa saja perbedaan antara wakaf dengan shadaqah lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
1.4 Pengertian Wakaf
A.    Etimologi
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau :berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.[1]
Wakaf dalam bahasa Arab mengandung pengertian menahan, menahan harta untuk diwakafkan. Dengan kata lain, wakaf adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin untuk ditahan, karena barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah, dan segala sesuatu.[2]
B.     Terminologi
Secara terminologi kata wakaf didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
a.      Madzhab Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi maka pemilikan hata wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendifinisikan wakaf adalah Menahan ain suatu harta dengan hukum tetap sebagai milik pemberi wakaf, dengan menyedekahkan manfaatnya walau hanya sebagian.[3]
b.      Madzhab Maliki
Pendapat dari mazhab ini bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepda yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
c.       Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali
Pendapat dari mazhab ini bahwa wakaf itu adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwariskan oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu mahzab ini mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebijakan (sosial).
1.5 Masyru’riyah Wakaf
Jumhur ulama semuanya sependapat bahwa waqafadalah bagian dari sedekah yang hukumnya disunnahkan didalam syariat Islam.Secara umum kita sebagai muslim telah diperintahkanoleh Allah SWT untuk mensedekahkan sebagian dari hartayang kita punya, sebagaimana firman Allah SWT:
`s9(#qä9$oYs?§ŽÉ9ø9$#4Ó®Lym(#qà)ÏÿZè?$£JÏBšcq6ÏtéB4$tBur(#qà)ÏÿZè?`ÏB&äóÓx«¨bÎ*sù©!$#¾ÏmÎ/ÒOŠÎ=tæÇÒËÈ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Qs. Ali-Imran:92)
$ygƒr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä(#qà)ÏÿRr&`ÏBÏM»t6ÍhŠsÛ$tBóOçFö;|¡Ÿ2!$£JÏBur$oYô_t÷zr&Nä3s9z`ÏiBÇÚöF{$#(Ÿwur(#qßJ£Jus?y]ŠÎ7yø9$#çm÷ZÏBtbqà)ÏÿYè?NçGó¡s9urÏmƒÉÏ{$t«Î/HwÎ)br&(#qàÒÏJøóè?ÏmÏù4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#;ÓÍ_xîîŠÏJymÇËÏÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Qs. Al-Baqarah:267)
Namun ayat-ayat itu masih bersifat kesunnahan atas sedekah yang bersifat umum.Sedangkan masyru'iyah wakaf secara lebih detail dankonstektual adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahuanhu yangmenceritakan kisah ayahandanya sendiri, sebagai orang yangpertama kali mendapat saran dari Rasullah SAW untukmewakafkan kebun kurmanya. Umar mendapatkan kebunitu sebagai bagian yang menjadi haknya dari harta rampasanperang Khaibar. Lengkapnya adalah hadits berikut ini:
عَنِابْنِعّمَرَرعقاّلّ : أّصاّبّعُمّرٌرعأَرْضًابِخَيْبَرّفَأّتّىاانَّبِيَّ   يَسْتَأْمِرْهُفِيْهاَفَقاَلَ: ياَرَسُوْلُاللهِإِنِّيأَصَبْتُأَرْضاًبِخَيْبَرَلَمْأُصِبْماَلاًقَطُّأَنْفَسَعِنْدِىمِنْهُفَماَتَأْمُرُبِهِ ? قاَلَ : إِنْشِئْتَحَبَسْتَأَصْلَهاَوَتَصَدَقْتَبِهاَ . قاَلَ : فَتَصَدَّقَبِهاَعُمَرَأَنَّهُلاَيُبَاعُوَلاَيُوهَبُوَلاَيُورَثُوَتَصَدَّقَبَهاَفِيْالْفُقَرَاءِوَفِيالْقُرْبَىوَفِيالرِّقاَبِوَفِيسّبِيْلِاللّهِوَابْنِالسَّبِيْلِوَالضّيْفِوَلاَجُناَحَعَلَىمَنْوَلِيَهَاأَنْيَأْكُلُمِنْهاَبِالْمَعْرُوفِوَيَطْعَمَغَيْرَمُتَمَوِّلٍ
“Dari Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Umar bin al-Khattab mendapat sebidang tanah di khaibar. Beliau mendatangi Rasulullah SAW meminta pendapat beliau,"Ya Rasulallah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku dapat harta lebih berharga dari itu sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan untukku dalam masalah harta ini?". Maka Rasulullah SAW berkata,"Bila kamu mau, bisa kamu tahan pokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya. Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan, jangan diwariskan". Maka Umar ra bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara, dzawil qurba, para budak, ibnu sabil juga para tetamu. Tidak mengapa bila orang yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi kepada temannya secara makruf, namun tidak boleh dibisniskan”. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Para ulama umumnya menyatakan bahwa hadits inilahyang secara nyata menegaskan pensyariatan wakaf atasharta, sekaligus juga menggambarkan dengan jelasbagaimana bentuk serta ketentuan dari wakaf itu sendiri.
Perang Khaibar yang terjadi di tahun ketujuh setelah hijrah merupakan perang yang amat fenomenal dalam sirah nabawiyah. Selain dapat menumpas habis kekuatan yahudi sampai ke akar-akarnya, perang Khaibar juga menghasilkan pemasukan finansial yang teramat besar. Ghanimah dariperang yang terjadi di lembah Khaibar, 100 mil utaraMadinah ke arah Syam ini mampu memperbaikiperekonomian Madinah kala itu.
Bahkan para shahabat Nabi SAW dari kalanganmuhajirin Mekkah, setelah perang ini dan mendapat bagianbesar dari ghanimah, mereka pun bisa membayar semuahutang mereka dari shahabat anshar penduduk Madinah,atau bisa mengembalikan apa yang telah pernah duludiberikan oleh para saudara mereka muhajirin.[4]
Sampai Ibnu Umar radhiyallahuanhu menyatakan bahwabelum pernah mereka merasa kenyang atas harta ghanimahkecuali dalam perang Khaibar ini. Demikian jugadiungkapkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, "Sekarangkenyanglah kita dari kurma".[5]Salah satu yang ikut kebagian harta berlimpah dari hartarampasan perang Khaibar ini adalah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu, berupa kebun kurma yang amat luas danpenghasilan yang amat tinggi nilainya setiap panen. OlehRasulullah SAW, harta setinggi itu nilainya, disarankanuntuk diwakafkan di jalan Allah, agar mendapatkan nilaipahala yang juga berkali-kali lipat bilangannya. Selain hadits tentang ghanimah besar di atas, juga adadalil lain yang juga menjadi dasar masyru'iyah wakaf, yaituhadits tentang tidak putusnya amal seorang anak Adammeksi sudah wafat. Di dalam hadits yang amat terkenal itu,salah satunya amal yang tidak pernah putus pahalanyaadalah shadaqah jariyah.
. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang telah meninggaldunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali tiga perkara, yaitu, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang selalu mendoakannya". (HR.Muslim)
Shadaqah jariyah artinya adalah sedekah yang mengalir, maksudnya pahalanya mengalir terus meski hanya sekali saja disedekahkannya. Bahkan pahala itu tetap mengalir meski yang memberikannya sudah meninggal dunia. Dan shadaqah jariah itu tidak lain adalah harta yang diwakafkan di jalanAllah.
Sebenarnya selain Umar juga ada banyak shahabat lain yang juga mewakafkan hartanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
مَاأَعْلَمُأَحَدًاكَانَلَهُمَالٌمِنَالْمُهَاجِرِيْنَوَالأنْصَارِإِلاَّحَبَسَمَالاًمِنْصَدَقَةِمُؤَبَّدَةٍلَاتُشْتَرَىأَبَدًاوَلَاتُوهَبُوَلَاتُورِثُ
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu berkata,"Aku tidak mengenal seorang shahabat pun yang memiliki harta dar imuhajirin dan anshar kecuali menahan (mewakafkan) hartanya untuk sedekah yang abadi, dengan tidak dijual selamanya, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan”.[6]
1.6 Hukum Wakaf
Di atas sudah dijelaskan dasar-dasar pensyariatan wakaf, sekarang kita akan membahas hukum wakaf itu sendiri.Meskipun wakaf merupakan perintah agama dan secara umum hukumnya sunnah, namun para ulama dengan melihat kasus kasus yang terjadi membagi hukum wakaf menjadi empat, yaitu sunnah, wajib, mubah, dan haram.[7]
A.    Wakaf Sunnah
Seluruh fuqaha dari semua mazhab sepakat bahwa wakaf itu hukumnya asalnya merupakan ibadah sunnah, sesuai dengan dalil-dalil di atas, dengan nilai pahala yang bisa menjadi berlipat berkali-kali besarnya. Namun mereka tidak mengatakan bahwa wakaf itu wajib.
Wakaf hukumnya dasarnya adalah sunnah, selama wakaf itu dipersembahkan demi semua hal yang bermanfaat bagi manusia, serta tetap berada di dalam koridor yang diridhai Allah SWT.
Seperti seorang mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid, madrasah, mushalla, perpusatakaan, atau sarana umum untuk publik dimana setiap orang bisa mengambil manfaatnya secara positif, maka hukumnya sunnah dan dijanjikan pahala yang terus mengalir.
B.     Wakaf Wajib
Namun terkadang ibadah yang hukum asalnya sunnah, bila diniatkan dengan niat tertentu, bisa menjadi wajib. Contohnya bila seseorang bernadzar untuk mewakafkan hartanya apabila doa dan harapannya terkabul. Maka wakaf baginya berubah hukum dari yang asalnya sunnah menjadi wajib, manakala apa yang dinadzarkannya itu menjadi kenyataan.
Di antara dalil-dalil yang mewajibkan seseorang mengerjakan apa yang telah menjadi apa telah dinadzarkan adalah firman Allah SWT:
¢OèO(#qàÒø)uø9öNßgsWxÿs?(#qèùqãø9uröNèduräçR(#qèù§q©Üuø9urÏMøŠt7ø9$$Î/È,ŠÏFyèø9$#ÇËÒÈ
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”.(Qs. Al-Hajj:29)
Seperti seorang bernadzar akan membangun sebuah rumah buat anak yatim, bisa usahanya sukses. Maka membangun rumah anak yatim serta mewakafkannya menjadi wajib atasnya, ketika usahanya memang sukses.
Namun nadzar itu hanya terbatas pada jenis ibadah yang hukumnya sunnah saja. Sedangkan bila yang dinadzarkan justru hal-hal yang tidak dibenarkan syariah, maka hukumnya haram untuk dilaksanakan.[8]
C.    Wakaf Mubah
Para ulama juga menuliskan dalam kitab mereka adanya wakaf yang sifatnya mubah, dimana orang yang mewakafkan hartanya itu tidak mendapat pahala. Contohnya adalah orang kafir dzimmi yang merelakan hartanya untuk kepentingan umum.
Hukumnya boleh kalau ada orang yang tidak beragama Islam mau mewakafkan tanpa syarat, tetapi di sisi Allah amalnya itu tidak ada manfaatnya, alias tidak memberikannya pahala. Sehingga para ulama memasukkan ke dalam jenis wakaf yang hukumnya mubah.[9]
D.    Wakaf Haram
Sedangkan wakaf yang haram hukumnya adalah wakaf di jalan yang bertentangan dengan agama Allah. Seperti orang yang mewakafkan hartanya untuk kemaksiatan, judi, minuman keras dan semua jalan yang tidak diridhai Allah SWT.
Termasuk yang diharamkan mewakafkan tanah untuk dibangun di atasnya gereja dan rumah ibadah agama lain. Wakaf di jalan seperti itu hukumnya wakaf yang haram.[10]
Dan yang termasuk wakaf yang haram adalah mewakafkan harta khusus hanya untuk anak laki-laki saja, tanpa menyertakan anak perempuan. Tindakan itu diharamkan karena mirip dengan sistem pembagian waris jahiliyah, dimana anak perempuan otomatis kehilangan hak warisnya, dan hanya anak laki-laki saja yang mendapatkan harta warisan dari orang tuanya.[11]
1.7  Macam-macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan ditunjukkan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dibagi meenjadi dua macam :
A.     Wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang ditunjukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf dzurri.
Apabila ada  seseorang mewakafkan sebuah tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperutukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluara (famili), lingkungan kerabat sendiri.[12] Dengan kata lain, wakaf ini diperuntukkan kepada pihak keturunan atau ahli waris , wakaf ini dibenarkan hanya untuk keperluan mereka.[13]
Wakaf untuk keluaga ini secara hukum islam dibenarkan beerdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Diujun hadits tersebut diyatakan sebagai berikut:
قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيْهَا وَاِنَّى اَرَى اَنْ تَجْعَلَهَا فِى الْاَ قْرَبِيْنَ, فَقَسَّمَهَا اَبُوْ طَلْحَةْ فِى اَقَا رِبِهِ وَبَنِى عَمَّهِ
“Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya”.
Dalam satu segi, wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikannya dari silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti: bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah)? siapa yang berhak mengambil manfaat benda (harta wakaf) itu? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakaf?
Untuk mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar harta wakaf  kelak tetap bisa dimanfaatkan dengan baik dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin. Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat (penerima wakaf) tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan kepada fakir miskin. Namun, untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan kesulitan dalam pembagiannya secara adil dan merata.
Pada perkemangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat meberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkam kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yangg diserahi harta wakaf. Dibeberapa Negara tertentu, sepereti: Mesir, Turki, Maroko dan Aljazar, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah dalam wakaf dalam bentuk ini diniai tidak produktif. Untuk itu, dalam pendangan KH. Ahmad Azhar Basyir MA, bahwa keberadaan jenis wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.
B.     Wakaf Khairi
Wakaf Khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebijakan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
Jenis wakaf ini seperti yang dielaskan dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberian hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditunjukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang meencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf  ahli, karena tidak teerbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur teersebut seebagaiman pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat Ustman bin Affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara memabelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu saran pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
1.8  Perbedaan Wakaf dengan Shadaqah Lainnya
Waqaf adalah bagian dari shadaqah, tetapi punya beberapa spesifikasi yang unik dan membedakannya dengan sedekah lainnya. Di antara keunikan wakaf antara lain:[14]
A.    Manfaat yang Terus-menerus
Harta yang diwaqafkan adalah harta yang punya manfaat yang terus menerus bisa dirasakan oleh mereka yang telah diberi hak untuk mendapatkannya. Sedangkan sedekah biasa, umumnya manfaatnya langsung habis sekali pakai.
Pohon yang tiap tahun berbuah adalah jenis benda yang bisa diwakafkan, yaitu buah-buahan yang tumbuh dari pohon itu. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu ketika menerima sebidang kebun kurma. Oleh Rasulullah SAW beliau disarankan untuk mewakafkan kebun kurma itu, agar tiap kali panen hasilnya bisa disedekahkan demi kepentingan orang-orang yangmembutuhkan.
Demikian juga dengan sumur yang airnya banyak dibutuhkan orang banyak, apalagi sumur yang ada di tengah padang pasir, dimana setiap musafir pasti akan membutuhkan air untuk minum dan keperluan lainnya. Sumur seperti itu termasuk harta yang bisa diwakafkan, karena manfaatnya terus bisa dirasakan orang.
Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu pernah membeli sebuah sumur dari seorang Yahudi yang menjual air di sumur itu dengan harga yang mahal. Setiap ada orang ingin minum atau mengambil air di sumur itu, harus membayar dengan harga yang mencekik.
Lalu oleh Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu, sumur itu pun dibelinya dan diwaqafkan buat kepentingan khalayak. Siapa saja boleh minum dari air sumur itu dan mengambil manfaat dari airnya, termasuk si yahudi yang tadinya menguasai sumur itu.
Sedangkan sepiring nasi tidak bisa diwakafkan, karena begitu dimakan, habislah manfaatnya dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Demikian juga satu sha' kurma yang dijadikan sebagai pembayar zakat fithr di hari Idul Fithr, punya manfaat yaitu mengenyangkan perut yang menerimanya, namun manfaat itu habis sekali pakai. Begitu makanan itu ludes masuk perut, maka manfaatnya pun habis, tidak bisa tebarukan lagi.
Ketika kita datang ke daerah bencana untuk membagibagikan ransum makanan, tentu tindakan itu berpahala besar, karena memang dibutuhkan oleh banyak orang. Tetapi kalau kita membangun kembali fasilitas umum yang manfaatnya bisa terus menerus dirasakan oleh para korban bencana, tentu pahalanya akan terus menerus kita terima.
B.     Pahala yang Terus-menerus
Karena manfaat wakaf itu terus bisa didapat dan dirasakan, maka setiap kali ada manfaat yang didapat, pahalanya pun diberikan oleh Allah.
Dan demikian terus, selama masih bisa dimanfaatkan harta itu, maka selama itu pula pahalanya akan didapat. Maka sering disebut dengan sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau shadaqah jariyah.
Kalau benda atau harta yang kita wakafkan terus masih aktif memberikan manfaat kepada orang banyak selama 100 tahun misalnya, maka kita akan terus menerus menerima pahala selama 100 tahun itu.
Dan kalau apa yang telah kita wakafkan itu bisa terus terawat dengan baik, sehingga bisa berumur lebih panjang lagi hingga seribu tahun, seperti Masjid dan Universitas Al-Azhar di Mesir, maka pahalanya tentu akan tidak terhingga. Sebab orang yang mewakafkan mungkin sudah jadi tanah, tetapi pahalanya terus menerus mengalir.
C.    Adanya Pengelola
Pengelola harta wakaf atau disebut dengan nadzir wakaf, pasti sangat dibutuhkan untuk memastikan apakah harta wakaf itu tetap terus bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada pemberi wakaf atau tidak.
Di pundak pengelola wakaf itulah ada beban dan tanggung-jawab yang berat, sebab dirinya diberi amanah yang tidak kecil dari pemberi harta wakaf, untuk bisa terus-menerus mengirimkan pahala kepadanya, baik ketika masih hidup atau pun setelah meninggalnya.
Sedangkan sedekah lainnya, seperti zakat, infaq dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola dalam arti yang bertanggung-jawab untuk memelihara. Semua harta sedekah itu harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan dengan utuh dan bulat apa adanya. Kalau pun ada hak dari pengelola zakat, itu memang telah dijamin Allah SWT, sebagai upah bagi amil. Tetapi selebihnya, harta itu diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan ain dari harta itu.
BAB III
PENUTUP
1.9  Kesimpulan
Dari materi Wakaf dalam Islam diatas, penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Wakaf adalah mengalihkan hak milik pribadi (barang) menjadi milik seseorang, organisasi, atau yang lainnya yang memberikan manfaat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT.
Hukum wakaf dibagi menjadi empat yaitu sunnah, wajib, mubah, dan haram. Wakaf hukumnya dapat berubah sesuai dengan konteks yang dilakukan.
Wakaf dibagi menjadi dua yaitu wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf dzurri, dan wakaf khairi. Wakaf dzurri ditujukan untuk keluarga sendiri, sedangkan wakaf khairi untuk kepentingan umum.
Wakaf memiliki perbedaan dengan shadaqah lainnya, perbedaan tersebut adalah manfaat yang terus menerus, pahala yang terus menerus, dan adanya pengelola.
2.0 Saran
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis sadar sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2007. Fiqh Wakaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam.
Fauzia, Amelia. 2003. Cet 1. Berderma untuk Semua; Wacana dan Praktik Fiantropi Islam. Jakarta: Teraju.
Sarwat, Ahmad. Tanpa Tahun, Seri Fiqih Kehidupan Muamalat. Jakarta Selatan: Du Publishing.
Hasanuddin. 2010. Manajemen Zakat dan Wakaf. Pamulang: Fidkom.
Sabiq, Sayyid. 1971. Fiqhu as-Sunnah. Lebanon: Dar al-‘Arabi.