BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wakaf yaitu menahan ‘ain suatu harta sehingga
hukumnya menjadi milik Allah dengan menggunakan manfaatnya untuk yang disukai,
adapun pengertian lain waqaf adalah mengalihkan
hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau organisasi yang memberikan manfaat
bagi masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT.
Hukum wakaf menurut para ulama dibagi menjadi lima yaitu
sunnah, wajib, mubah, dan haram. Hukum dapat berubah, apabila dihadapkan pada
suatu konteks dan niat tertentu.
Perbedaan waqaf dengan sedekah, walaupun wakaf bagian dari
sedekah tetapi menpunyai keunikan yang khas yaitu manfaat yang terus menerus,
pahala yang terus menerus, dan adanya pengelola.
Lebih lanjut dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai
sejarah wakaf, pengertian, masyru’riyah wakaf, hukum wakaf, macam-macam wakaf,
perbedaan wakaf dengan shadaqah lainnya, dan hikmah wakaf.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis dapat merumuskan masalah-masalah yang akan menjadi bahan dalam penulisanmakalah. Rumusanmasalahnyaadalah:
A. Apa pengertian dari wakaf?
B. Apa saja hukum-hukum wakaf?
C. Apa saja macam-macam wakaf?
D. Apa saja perbedaan antara wakaf dengan shadaqah lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
1.4
Pengertian Wakaf
A.
Etimologi
Kata
“Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa”
berarti “menahan” atau :berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”.
Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.[1]
Wakaf
dalam bahasa Arab mengandung pengertian menahan, menahan harta untuk
diwakafkan. Dengan kata lain, wakaf adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang
miskin untuk ditahan, karena barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang
lain, seperti menahan hewan ternak, tanah, dan segala sesuatu.[2]
B.
Terminologi
Secara
terminologi kata wakaf didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Madzhab Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda
yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya
untuk kebajikan. Berdasarkan definisi maka pemilikan hata wakaf tidak lepas
dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali ia boleh menjualnya.
Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya.
Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab
Hanafi mendifinisikan wakaf adalah Menahan ain suatu harta dengan hukum tetap
sebagai milik pemberi wakaf, dengan menyedekahkan manfaatnya walau hanya
sebagian.[3]
b.
Madzhab
Maliki
Pendapat dari
mazhab ini bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepda yang lain dan wakif berkewajiban
menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
c.
Madzhab
Syafi’i dan Madzhab Hambali
Pendapat dari mazhab ini bahwa
wakaf itu adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif,
setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja
terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara
pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif
wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwariskan oleh ahli
warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang yang diwakafkannya kepada mauquf
‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak
dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya,
maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena
itu mahzab ini mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas
suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebijakan (sosial).
1.5 Masyru’riyah Wakaf
Jumhur
ulama semuanya sependapat bahwa waqafadalah bagian dari sedekah yang hukumnya
disunnahkan didalam syariat Islam.Secara umum kita sebagai muslim telah
diperintahkanoleh Allah SWT untuk mensedekahkan sebagian dari hartayang kita
punya, sebagaimana firman Allah SWT:
`s9(#qä9$oYs?§ŽÉ9ø9$#4Ó®Lym(#qà)ÏÿZè?$£JÏBšcq™6ÏtéB4$tBur(#qà)ÏÿZè?`ÏB&äóÓx«¨bÎ*sù©!$#¾ÏmÎ/ÒOŠÎ=tæÇÒËÈ
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Qs. Ali-Imran:92)
$yg•ƒr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä(#qà)ÏÿRr&`ÏBÏM»t6ÍhŠsÛ$tBóOçFö;|¡Ÿ2!$£JÏBur$oYô_t÷zr&Nä3s9z`ÏiBÇÚö‘F{$#(Ÿwur(#qßJ£Ju‹s?y]ŠÎ7y‚ø9$#çm÷ZÏBtbqà)ÏÿYè?NçGó¡s9urÏmƒÉ‹Ï{$t«Î/HwÎ)br&(#qàÒÏJøóè?Ïm‹Ïù4(#þqßJn=ôã$#ur¨br&©!$#;ÓÍ_xîÏJymÇËÏÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Qs. Al-Baqarah:267)
Namun ayat-ayat itu masih bersifat kesunnahan atas sedekah
yang bersifat umum.Sedangkan masyru'iyah wakaf secara lebih detail
dankonstektual adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahuanhu yangmenceritakan
kisah ayahandanya sendiri, sebagai orang yangpertama kali mendapat saran dari
Rasullah SAW untukmewakafkan kebun kurmanya. Umar mendapatkan kebunitu sebagai
bagian yang menjadi haknya dari harta rampasanperang Khaibar. Lengkapnya adalah
hadits berikut ini:
عَنِابْنِعّمَرَرعقاّلّ : أّصاّبّعُمّرٌرعأَرْضًابِخَيْبَرّفَأّتّىاانَّبِيَّ يَسْتَأْمِرْهُفِيْهاَفَقاَلَ: ياَرَسُوْلُاللهِإِنِّيأَصَبْتُأَرْضاًبِخَيْبَرَلَمْأُصِبْماَلاًقَطُّأَنْفَسَعِنْدِىمِنْهُفَماَتَأْمُرُبِهِ ? قاَلَ : إِنْشِئْتَحَبَسْتَأَصْلَهاَوَتَصَدَقْتَبِهاَ . قاَلَ : فَتَصَدَّقَبِهاَعُمَرَأَنَّهُلاَيُبَاعُوَلاَيُوهَبُوَلاَيُورَثُوَتَصَدَّقَبَهاَفِيْالْفُقَرَاءِوَفِيالْقُرْبَىوَفِيالرِّقاَبِوَفِيسّبِيْلِاللّهِوَابْنِالسَّبِيْلِوَالضّيْفِوَلاَجُناَحَعَلَىمَنْوَلِيَهَاأَنْيَأْكُلُمِنْهاَبِالْمَعْرُوفِوَيَطْعَمَغَيْرَمُتَمَوِّلٍ
“Dari
Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Umar bin al-Khattab mendapat sebidang tanah
di khaibar. Beliau mendatangi Rasulullah SAW meminta pendapat beliau,"Ya
Rasulallah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku
dapat harta lebih berharga dari itu sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan
untukku dalam masalah harta ini?". Maka Rasulullah SAW berkata,"Bila
kamu mau, bisa kamu tahan pokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya.
Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan,
jangan diwariskan". Maka Umar ra bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara,
dzawil qurba, para budak, ibnu sabil juga para tetamu. Tidak mengapa bila orang
yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi kepada temannya secara
makruf, namun tidak boleh dibisniskan”. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Para ulama umumnya menyatakan bahwa hadits inilahyang secara
nyata menegaskan pensyariatan wakaf atasharta, sekaligus juga menggambarkan
dengan jelasbagaimana bentuk serta ketentuan dari wakaf itu sendiri.
Perang Khaibar yang terjadi di tahun ketujuh setelah hijrah
merupakan perang yang amat fenomenal dalam sirah nabawiyah. Selain dapat
menumpas habis kekuatan yahudi sampai ke akar-akarnya, perang Khaibar juga
menghasilkan pemasukan finansial yang teramat besar. Ghanimah dariperang yang
terjadi di lembah Khaibar, 100 mil utaraMadinah ke arah Syam ini mampu
memperbaikiperekonomian Madinah kala itu.
Bahkan para shahabat Nabi SAW dari kalanganmuhajirin Mekkah,
setelah perang ini dan mendapat bagianbesar dari ghanimah, mereka pun bisa membayar
semuahutang mereka dari shahabat anshar penduduk Madinah,atau bisa
mengembalikan apa yang telah pernah duludiberikan oleh para saudara mereka
muhajirin.[4]
Sampai
Ibnu Umar radhiyallahuanhu menyatakan bahwabelum pernah mereka merasa
kenyang atas harta ghanimahkecuali dalam perang Khaibar ini. Demikian
jugadiungkapkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, "Sekarangkenyanglah
kita dari kurma".[5]Salah satu yang ikut
kebagian harta berlimpah dari hartarampasan perang Khaibar ini adalah Umar bin
Al-Khattab radhiyallahuanhu, berupa kebun kurma yang amat luas
danpenghasilan yang amat tinggi nilainya setiap panen. OlehRasulullah SAW,
harta setinggi itu nilainya, disarankanuntuk diwakafkan di jalan Allah, agar
mendapatkan nilaipahala yang juga berkali-kali lipat bilangannya. Selain hadits
tentang ghanimah besar di atas, juga adadalil lain yang juga menjadi dasar
masyru'iyah wakaf, yaituhadits tentang tidak putusnya amal seorang anak
Adammeksi sudah wafat. Di dalam hadits yang amat terkenal itu,salah satunya
amal yang tidak pernah putus pahalanyaadalah shadaqah jariyah.
. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Apabila seseorang telah meninggaldunia maka terputuslah semua amal perbuatannya,
kecuali tiga perkara, yaitu, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih
yang selalu mendoakannya". (HR.Muslim)
Shadaqah jariyah
artinya adalah sedekah yang mengalir, maksudnya pahalanya mengalir terus meski
hanya sekali saja disedekahkannya. Bahkan pahala itu tetap mengalir meski yang
memberikannya sudah meninggal dunia. Dan shadaqah jariah itu tidak lain adalah
harta yang diwakafkan di jalanAllah.
Sebenarnya selain Umar juga ada banyak shahabat lain yang
juga mewakafkan hartanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
مَاأَعْلَمُأَحَدًاكَانَلَهُمَالٌمِنَالْمُهَاجِرِيْنَوَالأنْصَارِإِلاَّحَبَسَمَالاًمِنْصَدَقَةِمُؤَبَّدَةٍلَاتُشْتَرَىأَبَدًاوَلَاتُوهَبُوَلَاتُورِثُ
“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu berkata,"Aku
tidak mengenal seorang shahabat pun yang memiliki harta dar imuhajirin dan
anshar kecuali menahan (mewakafkan) hartanya untuk sedekah yang abadi, dengan
tidak dijual selamanya, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan”.[6]
1.6 Hukum Wakaf
Di atas sudah dijelaskan dasar-dasar pensyariatan wakaf,
sekarang kita akan membahas hukum wakaf itu sendiri.Meskipun wakaf merupakan
perintah agama dan secara umum hukumnya sunnah, namun para ulama dengan melihat
kasus kasus yang terjadi membagi hukum wakaf menjadi empat, yaitu sunnah,
wajib, mubah, dan haram.[7]
A.
Wakaf
Sunnah
Seluruh fuqaha dari semua mazhab
sepakat bahwa wakaf itu hukumnya asalnya merupakan ibadah sunnah, sesuai dengan
dalil-dalil di atas, dengan nilai pahala yang bisa menjadi berlipat
berkali-kali besarnya. Namun mereka tidak mengatakan bahwa wakaf itu wajib.
Wakaf hukumnya dasarnya adalah
sunnah, selama wakaf itu dipersembahkan demi semua hal yang bermanfaat bagi
manusia, serta tetap berada di dalam koridor yang diridhai Allah SWT.
Seperti seorang mewakafkan
tanahnya untuk dibangun masjid, madrasah, mushalla, perpusatakaan, atau sarana
umum untuk publik dimana setiap orang bisa mengambil manfaatnya secara positif,
maka hukumnya sunnah dan dijanjikan pahala yang terus mengalir.
B.
Wakaf
Wajib
Namun terkadang ibadah yang hukum
asalnya sunnah, bila diniatkan dengan niat tertentu, bisa menjadi wajib.
Contohnya bila seseorang bernadzar untuk mewakafkan hartanya apabila doa dan
harapannya terkabul. Maka wakaf baginya berubah hukum dari yang asalnya sunnah
menjadi wajib, manakala apa yang dinadzarkannya itu menjadi kenyataan.
Di antara dalil-dalil yang
mewajibkan seseorang mengerjakan apa yang telah menjadi apa telah dinadzarkan
adalah firman Allah SWT:
¢OèO(#qàÒø)u‹ø9öNßgsWxÿs?(#qèùqã‹ø9uröNèdu‘rä‹çR(#qèù§q©Üu‹ø9urÏMøŠt7ø9$$Î/È,ŠÏFyèø9$#ÇËÒÈ
“Kemudian, hendaklah mereka
menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka
menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan
thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”.(Qs. Al-Hajj:29)
Seperti seorang bernadzar akan
membangun sebuah rumah buat anak yatim, bisa usahanya sukses. Maka membangun
rumah anak yatim serta mewakafkannya menjadi wajib atasnya, ketika usahanya
memang sukses.
Namun nadzar itu hanya terbatas
pada jenis ibadah yang hukumnya sunnah saja. Sedangkan bila yang dinadzarkan
justru hal-hal yang tidak dibenarkan syariah, maka hukumnya haram untuk
dilaksanakan.[8]
C.
Wakaf
Mubah
Para ulama juga menuliskan dalam
kitab mereka adanya wakaf yang sifatnya mubah, dimana orang yang mewakafkan
hartanya itu tidak mendapat pahala. Contohnya adalah orang kafir dzimmi yang
merelakan hartanya untuk kepentingan umum.
Hukumnya boleh kalau ada orang
yang tidak beragama Islam mau mewakafkan tanpa syarat, tetapi di sisi Allah
amalnya itu tidak ada manfaatnya, alias tidak memberikannya pahala. Sehingga
para ulama memasukkan ke dalam jenis wakaf yang hukumnya mubah.[9]
D.
Wakaf
Haram
Sedangkan wakaf yang haram
hukumnya adalah wakaf di jalan yang bertentangan dengan agama Allah. Seperti
orang yang mewakafkan hartanya untuk kemaksiatan, judi, minuman keras dan semua
jalan yang tidak diridhai Allah SWT.
Termasuk yang diharamkan
mewakafkan tanah untuk dibangun di atasnya gereja dan rumah ibadah agama lain.
Wakaf di jalan seperti itu hukumnya wakaf yang haram.[10]
Dan yang termasuk wakaf yang
haram adalah mewakafkan harta khusus hanya untuk anak laki-laki saja, tanpa
menyertakan anak perempuan. Tindakan itu diharamkan karena mirip dengan sistem
pembagian waris jahiliyah, dimana anak perempuan otomatis kehilangan hak
warisnya, dan hanya anak laki-laki saja yang mendapatkan harta warisan dari
orang tuanya.[11]
1.7 Macam-macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan ditunjukkan kepada siapa
wakaf itu, maka wakaf dibagi meenjadi dua macam :
A.
Wakaf
Ahli
Yaitu wakaf yang ditunjukan kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf
seperti ini juga disebut wakaf dzurri.
Apabila ada seseorang mewakafkan sebuah tanah kepada
anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya
adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf
ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf
yang diperutukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluara
(famili), lingkungan kerabat sendiri.[12] Dengan kata lain, wakaf
ini diperuntukkan kepada pihak keturunan atau ahli waris , wakaf ini dibenarkan
hanya untuk keperluan mereka.[13]
Wakaf untuk keluaga ini secara
hukum islam dibenarkan beerdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada
kaum kerabatnya. Diujun hadits tersebut diyatakan sebagai berikut:
قَدْ سَمِعْتُ مَا
قُلْتَ فِيْهَا وَاِنَّى اَرَى اَنْ تَجْعَلَهَا فِى الْاَ قْرَبِيْنَ,
فَقَسَّمَهَا اَبُوْ طَلْحَةْ فِى اَقَا رِبِهِ وَبَنِى عَمَّهِ
“Aku
telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu
memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk
para keluarga dan anak-anak pamannya”.
Dalam satu segi,
wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua
kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikannya dari silaturahmi
terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain wakaf
ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti: bagaimana kalau anak cucu yang
ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah)? siapa yang berhak mengambil manfaat
benda (harta wakaf) itu? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu si wakif
yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan
bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakaf?
Untuk
mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar harta
wakaf kelak tetap bisa dimanfaatkan
dengan baik dan berstatus hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf
ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin.
Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat (penerima wakaf) tidak ada lagi
(punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan kepada fakir miskin. Namun,
untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyak
kemungkinan akan menemukan kesulitan dalam pembagiannya secara adil dan merata.
Pada perkemangan
selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat meberikan manfaat
bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkam kekaburan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yangg diserahi harta wakaf. Dibeberapa
Negara tertentu, sepereti: Mesir, Turki, Maroko dan Aljazar, wakaf untuk
keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi,
tanah-tanah dalam wakaf dalam bentuk ini diniai tidak produktif. Untuk itu,
dalam pendangan KH. Ahmad Azhar Basyir MA, bahwa keberadaan jenis wakaf ahli
ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.
B.
Wakaf Khairi
Wakaf Khairi
adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau
kemasyarakatan (kebijakan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan
pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan
lain sebagainya.
Jenis wakaf ini
seperti yang dielaskan dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang
wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberian hasil kebunnya kepada fakir
miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha
menebus dirinya. Wakaf ini ditunjukan kepada umum dengan tidak terbatas
penggunaannya yang meencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan
umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial,
pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan
penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan
jenis wakaf ahli, karena tidak
teerbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah
yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara
umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat
mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf masjid maka si
wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil
air dari sumur teersebut seebagaiman pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat
Ustman bin Affan.
Secara
substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara
memabelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dan tentunya kalau
dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu saran pembangunan, baik
di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan,
kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut
benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya
untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
1.8
Perbedaan Wakaf
dengan Shadaqah Lainnya
Waqaf adalah bagian dari shadaqah, tetapi punya beberapa
spesifikasi yang unik dan membedakannya dengan sedekah lainnya. Di antara
keunikan wakaf antara lain:[14]
A.
Manfaat
yang Terus-menerus
Harta yang diwaqafkan adalah
harta yang punya manfaat yang terus menerus bisa dirasakan oleh mereka yang
telah diberi hak untuk mendapatkannya. Sedangkan sedekah biasa, umumnya
manfaatnya langsung habis sekali pakai.
Pohon yang tiap tahun berbuah
adalah jenis benda yang bisa diwakafkan, yaitu buah-buahan yang tumbuh dari
pohon itu. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu
ketika menerima sebidang kebun kurma. Oleh Rasulullah SAW beliau disarankan
untuk mewakafkan kebun kurma itu, agar tiap kali panen hasilnya bisa
disedekahkan demi kepentingan orang-orang yangmembutuhkan.
Demikian juga dengan sumur yang
airnya banyak dibutuhkan orang banyak, apalagi sumur yang ada di tengah padang
pasir, dimana setiap musafir pasti akan membutuhkan air untuk minum dan
keperluan lainnya. Sumur seperti itu termasuk harta yang bisa diwakafkan,
karena manfaatnya terus bisa dirasakan orang.
Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu
pernah membeli sebuah sumur dari seorang Yahudi yang menjual air di sumur itu
dengan harga yang mahal. Setiap ada orang ingin minum atau mengambil air di
sumur itu, harus membayar dengan harga yang mencekik.
Lalu oleh Utsman bin Al-Affan radhiyallahuanhu,
sumur itu pun dibelinya dan diwaqafkan buat kepentingan khalayak. Siapa saja
boleh minum dari air sumur itu dan mengambil manfaat dari airnya, termasuk si
yahudi yang tadinya menguasai sumur itu.
Sedangkan sepiring nasi tidak
bisa diwakafkan, karena begitu dimakan, habislah manfaatnya dan tidak bisa
dimanfaatkan lagi. Demikian juga satu sha' kurma yang dijadikan sebagai
pembayar zakat fithr di hari Idul Fithr, punya manfaat yaitu mengenyangkan
perut yang menerimanya, namun manfaat itu habis sekali pakai. Begitu makanan
itu ludes masuk perut, maka manfaatnya pun habis, tidak bisa tebarukan lagi.
Ketika kita datang ke daerah
bencana untuk membagibagikan ransum makanan, tentu tindakan itu berpahala
besar, karena memang dibutuhkan oleh banyak orang. Tetapi kalau kita membangun
kembali fasilitas umum yang manfaatnya bisa terus menerus dirasakan oleh para
korban bencana, tentu pahalanya akan terus menerus kita terima.
B.
Pahala
yang Terus-menerus
Karena manfaat wakaf itu terus
bisa didapat dan dirasakan, maka setiap kali ada manfaat yang didapat,
pahalanya pun diberikan oleh Allah.
Dan demikian terus, selama masih
bisa dimanfaatkan harta itu, maka selama itu pula pahalanya akan didapat. Maka
sering disebut dengan sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau shadaqah
jariyah.
Kalau benda atau harta yang kita
wakafkan terus masih aktif memberikan manfaat kepada orang banyak selama 100
tahun misalnya, maka kita akan terus menerus menerima pahala selama 100 tahun
itu.
Dan kalau apa yang telah kita
wakafkan itu bisa terus terawat dengan baik, sehingga bisa berumur lebih
panjang lagi hingga seribu tahun, seperti Masjid dan Universitas Al-Azhar di
Mesir, maka pahalanya tentu akan tidak terhingga. Sebab orang yang mewakafkan
mungkin sudah jadi tanah, tetapi pahalanya terus menerus mengalir.
C.
Adanya
Pengelola
Pengelola harta wakaf atau
disebut dengan nadzir wakaf, pasti sangat dibutuhkan untuk memastikan apakah
harta wakaf itu tetap terus bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada pemberi wakaf atau tidak.
Di pundak pengelola wakaf itulah
ada beban dan tanggung-jawab yang berat, sebab dirinya diberi amanah yang tidak
kecil dari pemberi harta wakaf, untuk bisa terus-menerus mengirimkan pahala
kepadanya, baik ketika masih hidup atau pun setelah meninggalnya.
Sedangkan sedekah lainnya,
seperti zakat, infaq dan lainnya, tidak membutuhkan pengelola
dalam arti yang bertanggung-jawab untuk memelihara. Semua harta sedekah itu
harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan dengan utuh dan bulat apa
adanya. Kalau pun ada hak dari pengelola zakat, itu memang telah dijamin Allah
SWT, sebagai upah bagi amil. Tetapi selebihnya, harta itu diserahkan kepada
yang berhak menerimanya, dengan menyerahkan ain dari harta itu.
BAB III
PENUTUP
1.9 Kesimpulan
Dari materi Wakaf dalam Islam diatas, penulis dapat
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Wakaf adalah mengalihkan hak milik pribadi
(barang) menjadi milik seseorang, organisasi, atau yang lainnya yang memberikan
manfaat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan ridha Allah SWT.
Hukum wakaf dibagi menjadi empat yaitu
sunnah, wajib, mubah, dan haram. Wakaf hukumnya dapat berubah sesuai dengan
konteks yang dilakukan.
Wakaf dibagi menjadi dua yaitu wakaf ahli
atau biasa disebut dengan wakaf dzurri, dan wakaf khairi. Wakaf dzurri
ditujukan untuk keluarga sendiri, sedangkan wakaf khairi untuk
kepentingan umum.
Wakaf memiliki perbedaan dengan shadaqah
lainnya, perbedaan tersebut adalah manfaat yang terus menerus, pahala yang
terus menerus, dan adanya pengelola.
2.0 Saran
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulis sadar sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2007. Fiqh Wakaf. Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam.
Fauzia, Amelia. 2003. Cet 1. Berderma untuk Semua; Wacana
dan Praktik Fiantropi Islam. Jakarta: Teraju.
Sarwat, Ahmad. Tanpa Tahun, Seri Fiqih Kehidupan Muamalat.
Jakarta Selatan: Du Publishing.
Hasanuddin. 2010. Manajemen Zakat dan Wakaf.
Pamulang: Fidkom.
Sabiq, Sayyid. 1971. Fiqhu as-Sunnah. Lebanon: Dar al-‘Arabi.